SEBATAS CINTA DALAM RINDU
Siang mulai
menapaki senja saat gerimis itu tiba-tiba menitis dari urai-urai langit yang
bermuram durja. Nampak di sana seorang pria duduk termangu memandang jauh
cakrawala dari sebuah rumah pohon di tepi hutan menikmati rinai kebasahan
gerimis yang kiranya telah menjadi hujan. Di wajahnya mengguratkan kedukaan
dalam rindu akan sebuah sosok yang selalu menjadi lamunan.
“Dek, Kakak merindukanmu,” ucapnya lirih sembari menahan
air mata yang pada akhirnya tetap tercurah. Dia tertunduk merenungi lebih dalam
gelayut perasaan yang begitu menggelisahkannya. Tak lama dia terdiam, lamunannya jauh mengawang ke kisah dua tahun
silam.
**
“Ahh, hujannya kok
gak reda-reda ya? Bisa kesorean aku pulangnya,” kata seorang gadis berseragam
SMA berdiri menungu hujan reda. Dia adalah Zahra murid baru pindahan dari
bandung sepekan yang lalu.“Belum pulang dek?” tanya tiba-tiba seseorang yang
mengagetkannya.
“Hmmm ... Kak Arsa. Lihat itu Kak! Hujannya deras banget,
gimana Ra bisa pulang. Ra harus kedepan sana dulu nungguin angkot yang belum
tentu akan lewat, sedang Ra sendiri gak bawa payung, makanya dari tadi Ra
berdiri saja di sini kebingungan,” jawabanya menjelaskan.
“Oh gitu toh! Mau Kakak antar pulang, gak? Tapi dibonceng
motor,” kata Arsa menawarkan tumpangan.
“Emm ... gimana ya,” ucap Ra nampak ragu.
“Jangan khawatir Dek, Kakak gak gigit kok! Kakak juga
kebetulan bawa jas hujan, cukuplah kiranya buat kita berdua,” kata Arsa
meyakinkan.
“Oke deh Kak, Tapi pelan-pelan bawa motornya! Ra takut
kecepatan,” ucap Ra akhirnya menerima tawaran Arsa.
“Baiklah! Bentar ya Adek tunggu sini! Kakak mau ambil
motor dulu di parkiran,” pinta Arsa. Setelah itu dia melenggang pergi menuju
tempat di mana motornya berada. Tak seberapa lama dia telah kembali di depan Ra
dengan membawa motor kesayangannya. “Ayo Dek sini naik!” pinta Arsa kepada Ra.
“Oh ya Kak,” jawab Ra sembari menyusup di balik jas hujan
kelelawar membonceng motor Arsa.
“Maaf ya Dek,
kalau motornya butut.”
“Ihh Kakak kok ngomong gitu, gak apa-apa lagian, Kak!”
Akhirnya Arsa melajukan motornya menyongsong derasnya
hujan sore itu. Nampak air menggenang di mana-mana menutupi jalanan. Jarak
pandang pun jadi terbatas. Arsa masih tetap melajukan motornya dengan
hati-hati. Sampai tiba-tiba, duar! Bunyi petir menggelegar dengan kilatan
cahaya di antara hujan. Seketika itu Ra memeluk erat pinggang Arsa di balik jas
hujan. Arsa pun tersentak, lalu dia menepi menghentikan laju motornya.
“Ada apa Dek?” tanya Arsa kepada Ra atas tingkahnya yang tiba-tiba
memeluknya.
“Gak ada apa-apa Kak! Cuma Ra takut sama petir aja,”
jawabnya lirih.
“Owh, kirain ....”
Setelah itu Arsa kembali melajukan motornya menyongsong
deras hujan yang kini bersahutan dengan suara petir yang menggelegar. Ra pun
semakin erat melingkarkan tangannya di pinggang Arsa. Dia nampaknya benar-benar
takut dengan petir. Berbeda dengan Arsa seperti salah tingkah sedari mula
pelukan Ra itu mengejutkannya tadi. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyusup
dalam pikirannya. Sebuah kehangatan yang dia rasakan lewat pelukan Ra, membuat lamunannya
jauh mengawang.
Dhid dhid ...! Suara klakson mobil mengejutkannya yang
sejenak tadi seperti hilang kesadaran dalam kecamuk perasaan tak menentu.
Perjalanan pun berlanjut dengan Ra yang masih saja memeluk Arsa. Sedang Arsa sendiri sibuk menepis perasaan
yang aneh dalam hatinya sembari terus fokus melajukan motornya.
Sudah lima belas menit berlalu dan nampaknya rumah Ra
sudah dekat. Arsa pun bertanya pada Ra, “Rumahmu di sebelah mana, Dek?”
“Itu yang paling ujung, Kak! Yang pagarnya bercat
coklat,” jawab Ra sembari sedikit membuka jas hujan menunjukkan arah rumahnya.
Beberapa saat kemudian Arsa telah menghentikan motornya
tepat di depan pagar rumah Ra. “Dek, ini udah sampai,” kata Arsa setelah
mematikan mesin motornya.
“Oh ya, mampir dulu yuuk, Kak!” ucap Ra menawarkan pada
Arsa untuk sejenak singgah di rumahnya.
“Kapan-kapan ajalah, Dek! Lagian Kakak juga harus
buru-buru pulang.”
Setelah mendengar jawaban dari Arsa, Ra mengucapkan terima kasih dan bergegas berlari
menuju teras rumahnya. Arsa hanya bisa menatapnya dari atas motor bututnya.
Entah apa yang dia rasakan, seperti sebuah kehilangan tatkala Ra akhirnya masuk
ke dalam rumahnya. Sejenak dia terpaku dan kemudian kembali menyalakan motornya
untuk bergegas pulang menuju rumahnya. Tak lama! Dia pun telah sampai. Sehabis
memasukkan motornya dia langsung mandi untuk membersihkan diri dan selanjutnya
melakukan kegiatannya, seperti yang dia lakukan sehari-hari.
Senja telah menutup ronanya tatkala aura kegelapan malam
sudah benar-benar melingkupi semesta. Hujan pun telah reda, hanya tersisa
genangan air di tanah-tanah basah yang tak lagi berdebu. Malam ini langit
nampak cerah dengan rembulan sabit dan bintang-bintang yang berkelidan. Indah
dan damai itu kiranya kata yang paling
tepat untuk disematkan pada nuansa malam ini. Namun berbeda dengan Arsa. Semua
terasa menggelisahkan baginya. Masih terbayang-bayang dalam pikirannya tentang
peristiwa senja tadi tatkala dia mengantar Ra. Gelisah hati dan perasaanya,
bahkan keindahan malam pun tak mampu membuatnya dalam kedamaian. “Perasaan aneh
apa yang kurasa ini?” tuturnya dalam hati sembari membaringkan diri mencoba
menemui mimpi, berharap nantinya tatkala pagi menyapa kerisauannya pun ikut
sirna.
Malam telah berganti pagi. Tersenyum mentari kembali
menebar seri cahaya ke pelataran bumi. Nampak indah panorama langit dalam
nuansa cerah di semua sisi. Seperti biasanya Ra berangkat sekolah dengan naik
angkot. Itu pun harus berjalan kaki hingga ke ujung komplek untuk bisa menunggu
angkot disana. Sebenarnya Ayahnya sudah menawarkan diri untuk antar jemput
dirinya. Namun Ra bersikeras tidak mau. Dia ingin bisa mandiri dan tidak mau
merepotkan orang lain, termasuk Ayahnya.
Sekitar lima puluh meter Ra berjalan meninggalkan
rumahnya. Langkahnya terhenti tatkala sebuah motor tiba-tiba berhenti di
depannya.
“Pagi Dek, berangkat bareng yuuk!” sapa seseorang yang
tak lain adalah Arsa, dia mengajak Ra untuk berangkat bersama.
“Ihh Kakak, bikin kaget aja!” ucap Ra saat tahu kalau
yang menghentikan motor tiba-iba itu Arsa.
“Gimana Dek, mau kan Kakak boncengin lagi?” harap Arsa.
“Gak ah Kak, Adek takut ntar jadi gosip di sekolah,” ucap
Ra mencoba menolak.
“Gosip apaan sih? Biarin ajalah Dek, gak usah diambil
pusing. Mau ya Kakak boncengin?” pinta Arsa lagi sembari meyakinkan Ra.
“Hmmm ... iya deh, tapi ntar Ra turun kalo udah deket
sekolah ya!”
“Tapi ..., terserah Adek ajalah.”
Akhirnya Ra menyetujui tawaran Arsa untuk berangkat bersama.
Sepanjang jalan lagi-lagi Arsa merasakan perasaan aneh yang kembali muncul saat
tangan Ra menyentuh pinggangnya untuk berpegangan. Lima belas menit pun telah
berlalu kiranya sebentar lagi mereka sampai di sekolah. Sesuai pinta Ra tadi
Arsa menghentikan motornya beberapa meter sebelum sampai di gerbang sekolah. Ra
turun dan mengucapkan terima kasih diiringi sebuah senyuman manis yang
menggetarkan hati Arsa.
Jam istirahat! Nampak para siswa-siswi melakukan
kegiatannya masing masing. Ada yang ke kantin, perpustakaan, duduk-duduk depan
ruang kelas sekedar ngobrol dengan para siswa dan siswi lainnya. Namun berbeda
dengan Arsa, dia masih di ruang kelas nampak sibuk menulis sesuatu hingga
tiba-tiba tepukan tanggan di bahunya mengagetkannya. Itu perbuatan Iyan sahabat
dekat Arsa sejak masa SMP.
“Gak makan ke kantin, Ar?” tanya Iyan pada temannya itu.
“Lagi males aja, lagian aku juga gak laper.”
“Owh ... terus itu lagi nulis apaan, puisi ya?” tanya
Iyan lagi, karena sejak tadi dia perhatikan Arsa sibuk menulis sesuatu.
“Iya biasa, kau kan tahu sendiri ini emang hobiku,” jawab
Arsa sembari terus menulis.
“Coba aku lihat!” Tanpa menunggu jawaban dari Arsa, Iyan
menggambil buku catatan Arsa.
“Wah, kamu gak sabaran banget sih!” ucap Arsa sedikit
kesal dengan kelakuan temannya itu.
“Ini seperti puisi orang yang lagi jatuh cinta aja?
Jangan-jangan ...,” ucap Iyan yang nampak menyudutkan Arsa.
“Itu Cuma ngarang aja kok! Gak pake perasaan,” kilah
Arsa.
“Yang bener? Pakai perasaan juga gak apa-apa kok! Aku
ikut senang kalau kamu jatuh cinta, secara kamu kan jomblo, Ar!” Iyan menggoda
temannya itu.
“Hmmm ... sebenarnya aku tertarik sama salah satu gadis
di sekolah ini.”
“Sama siapa? Kok kamu gak pernah cerita sama aku, Ar!”
tanya Iyan.
“Dia adek kelas kita! itu lho yang pindahan dari
Bandung,”
Begitulah akhirnya Arsa mengakui kalau dia memang sedang
jatuh cinta. Pembicaraan mereka terus berlangsung hingga bel masuk
menghentikannya.
Hari demi hari berganti. Rasa cinta Arsa kepada Ra pun
kian tumbuh bersemi. Namun, Arsa belum juga memiliki keberanian untuk mengutarakannya.
Rasa cinta itu masih dipendamnya. Hanya lewat puisi-puisi di mading sekolah,
dia mencurahkan perasaannya. Hingga pada suatu ketika dia mencantumkan nama Ra
untuk sebuah puisi yang mengisahkan tentang seorang pria yang begitu pengecut
untuk mengutarakan rasa cintanya kepada seorang gadis. Ra yang tahu kalau gadis
yang dimaksud dalam puisi itu adalah dia menjadi penasaran, apa lagi sang
penulis hanya meninggalkan inisial R A. Inisial yang seperti panggilannya,
inisial yang tak dikenalnya. Sejak puisi pertama yang teruntuk Ra itu, setiap
harinya selalu ada puisi yang serupa ditujukan kepadan dirinya. Ra merasa
tersanjung sekaligus semakin penasaran dengan sosok penulis puisi-puisi itu.
Sampai akhirnya Ra sengaja berangkat pagi-pagi untuk tahu siapa sebenarnya di
balik semua puisi tersebut. Betapa terkejutnya dia saat memergoki ternyata si
penulis tidak lain adalah Arsa. Dia pun langsung menghampiri dan menanyakan
soal itu kepada Arsa.
“Kakak ...,” sapa Ra
yang tiba-tiba mengejutkan Arsa. Arsa pun salah tingkah dan nampak kebingungan.
“Adek!” ucap Arsa sembari tertunduk menyembunyikan rasa
malunya karena ketahuan.
“Ternyata Kakak ya! Yang selama menulis puisi-puisi buat
adek, kenapa gak jujur aja, Kak?” desak Ra.
“Ya Dek! Kakak ngaku, emang kakak yang menulis semua
puisi itu. Kakak belum mempunyai keberanian untuk mengutarakannya langsung pada
Adek, makanya Kakak sengaja menulis segala curahan perasaan Kakak sama Adek
lewat puisi-puisi itu,” jelas Arsa.
“Terus inisial R A itu maksudnya apa?” tanya Ra.
“Itukah singkatan nama Kakak, Dek!”
“Maksudnya?” tanya Ra lagi masih nampak bingung.
“Ruhesa Arsawenda di singkat R A, itulah nama lengkap
Kakak!” jawab Arsa perihal inisial R A.
“Hmmm ... gitu ya, Adek baru tahu kalau itu nama lengkap
Kakak.”
“Dek, entar sore ada waktu gak? Kakak mau ngajak Adek ke
suatu tempat,” tanya Arsa tiba-tiba mengalihkan perhatian.
“Kemana Kak?”
“Entar Kakak kasih tahu, tapi mau kan? Kakak juga mau
bicara jujur sama Adek.”
“Oke deh!” Akhirnya Ra menyetujui ajakan Arsa. Mereka pun
berpisah seiring mulai banyak siswa-siswi lain yang berdatangan.
Siangnya seperti janji tadi pagi Arsa mengajak Ra ke
suatu tempat. Tempat itu adalah rumah pohon di tepi hutan dengan pemandangan
yang cukup indah. Di sana Arsa mengutarakan langsung perasaan cintanya pada Ra.
Dan Ra juga ternyata merasakan hal sama dengannya. Rumah pohon itu menjadi
saksi jalinan cinta mereka diiringi gerimis yang tiba-tiba turun seketika.
Setelah siang itu hari-hari terasa begitu indah bagi
mereka berdua. Nuansa canda tawa, keromantisan senantiasa mewarnai jalinan
kasih yang kini telah tumbuh kian berbunga-bunga. Apa lagi setiap hari Arsa
semakin sering menulis puisi untuk Ra. Puisi yang begitu indah dibaca, puisi
yang membuat iri para siswi lainnya.
Tak terasa tiga bulan telah berlalu sejak mereka resmi
menjalin cinta. Hari itu, hari ke empat Ra tidak masuk sekolah. Dia dikabarkan
sakit namun setiap kali Arsa ke rumahnya Ra selalu menolak untuk menemui. Arsa
pun bertanya-tanya sesungguhnya apa yang terjadi. Apakah dia berbuat kesalahan
hingga Ra seakan menjauh darinya. Akhirnya sore itu Arsa bersikeras untuk menemui Ra. Kembali dia
berkunjung ke rumah Ra untuk kesekian kalinya. Namun kali ini rumah nampak
kosong. Berulang-ulang dia ketuk pintu berulang kali pula tanpa jawaban. Sampai
seorang tetangga memberi tahu bahwa Ra dibawa ke rumah sakit kemarin sore. Tak
membuang waktu Arsa bergegas menuju rumah sakit yang diberitahukan oleh
tetangga tadi.
Sesampainya di rumah sakit Arsa langsung menuju kamar
tempat Ra dirawat. Betapa pilunya perasaan Arsa tatkala melihat orang yang
dicintainya nampak terlelap, terbaring lemah seakan tak berdaya. Arsa melangkah
mendekati Ra, lalu dia mengusap keningnya dengan lembut. Ra pun terjaga dan
terkejut saat dia melihat Arsa ada di sampingnya.
“Kakak ...,” ucap Ra lirih saat tahu orang yang
dilihatnya adalah Arsa.
“Iya Dek, ini Kakak!”
“Kakak kok tahu kalau Adek ada di sini?” tanya Ra yang
tak menyangka Arsa akan datang.
“Yang memberitahu tetangga Adek, tadi sewaktu Kakak ke rumah Adek,” jawab Arsa
“Hmmm ... maafin Adek ya, Kak! Adek udah gak jujur sama
Kakak soal penyakit Adek ini.”
“Kenapa Dek, kenapa Adek gak mau berbagi soal ini sama
Kakak?”
“Adek gak mau Kakak bersedih gara-gara Adek, makanya Adek
nutupin semua ini dari Kakak.”
Sejenak Arsa terdiam, menahan tetes air mata yang mencoba
untu keluar. Hingga dia hanya mampu berucap, ”Adek, Kakak sayang Adek!”
“Ya Kak! Adek tahu itu. Adek juga sayang Kakak,” ucap Ra
dengan seulas senyum yang coba dia sunggingkan.
Nuansa nampak begitu haru. Terlihat jelas binar-binar
cinta antara mereka saling melekat satu sama lain. Cinta antara mereka bukan
sekedar cinta dalam suka, tapi juga cinta dengan ketulusan meski kedukaan yang
harus mereka hadapi bersama.
“Kak! Kakak mau bantuin Adek?” tanya Ra kepada Arsa
tiba-tiba.
“Pasti Dek, semua akan Kakak lakukan demi Adek.”
“Adek mau ke rumah pohon kita,” pinta Ra dengan nada
memohon.
“Tapi kan Adek lagi sakit.”
“Mau ya Kak? Adek mohon!”
Arsa pun tak mampu menolak permintaan Ra itu. Dengan
diam-diam Arsa membawa keluar Ra dari rumah sakit dan langsung menuju rumah
pohon mereka seperti permintaan Ra. Di sana mereka duduk bersanding. Ra
merebahkan kepalanya bersandar pada bahu Arsa.
“Kak, Adek mau Kakak berjanji satu hal sama Adek. Teruslah menatap ke
depan demi Adek ya! Adek gak mau Kakak bersedih, apa lagi menangis atas apa pun yang terjadi
nantinya sama Adek. Janji ya Kak!” Arsa hanya terdiam menahan tangis yang begitu menyesak di dada.
Tak mampu Dia untuk berkata iya karena sejujurnya itu sangat sulit baginya. Lalu
dia menggenggam tangan Ra yang nampak terasa dingin. Dia merasa ada yang aneh.
“Dek, Dek ...!” berkali-kali dia ucapkan tapi
tetap tanpa jawaban. Akhirnya dia tersadar bahwa Ra telah meninggal. Seketika
air matanya pun pecah seiring rinai hujan yang tiba-tiba saja turun seakan ikut
menangisi kepergian Ra untuk selamanya. Dia seperti kehilangan pelita untuk
berjalan, kehilangan cahaya kebahagiaan yang selama ini dia dapatkan. Hujan
yang menjadi saksi berseminya cinta mereka, hujan pula yang menjadi saksi perpisahan
ruang dan waktu antara mereka.
***
“Dek maafkan Kakak, karena sampai saat ini Kakak masih
tak mampu menahan tetes air mata ini. Kakak merindukanmu Dek,” ucap lirih Arsa
sembari memandangi tetesan hujan dari rumah pohon tempat di mana Ra menghembuskan
nafas untuk terakhir kalinya.