aku

aku
Ruhesa Arsawenda (Syair)

Jumat, 20 Maret 2015

TAPAK RANDA RINDU

Sampai sebuah kenang itu menguliti sepi
Tatkala aku menepi di antara candi-candi
Sejuk berima semilir menyetubuhi diri
Berkabut nuansa sehari-hari lagi

Bukan,
Bukan tentang kawah pelangi
Bukan pula,
Menjajaki prasasti di lereng-lereng hingga memucuk tinggi
Yang tersirat sebuah rindu bersayap-sayap putih
Terhempas melayang di siulas nafas menyapih

Tapak randa itulah bebunga yang jadi hantaran
Di sepanjang jalan dan tanah-tanah lenggang menghias pandangan
Kenangku merambah itu,
Wajah di balik putihnya menyeringai malu
Di suatu sore di sebalik bukit sebrang pelangi
Kutemui dia, kiranya satu turunan bidadari

 Namun sekelebatan waktu
Hanya seulas senyum mampu kucumbu
Tersisa kini tapak randa rindu
Bebunga putih jadi huluran rasaku pada titi temu
Di sana,
Di dataran tinggi Dieng ulam cintaku bercengkrama
Adakah dia lagi semusim berganti kembali merupa

Tapak randa rindu,

Mengulas kenangku segurat wajah itu

Jumat, 27 Februari 2015

PAGI YANG CERAH DENGAN SEKILAS SENYUMMU YANG INDAH

"Ahh ... sudah pagi lagi," kataku sembari menggeliat meregangkan sendi-sendi sekujur diri. Malam telah berganti pagi, mimpi-mimpi pun terhenti untuk esok lagi.

Pagi ini serasa ada yang berbeda. Aromanya, nuansanya sepertinya tak sama dengan hari kemarin. Padahal pagi tetap dengan heningnya, mungkin aku yang terlalu terlena akan sebuah rasa yang bernama cinta.

Setelah beberapa saat. Aku pun bangkit dari tempat pembaringanku.
Melangkah walau terasa berat menuju sisi kamarku di sebelah timur yang terpasang jendela disana. Lalu, perlahan kubuka tirai jendela. Seketika itu silau cahaya membuatku memalingkan pandangan.

"Hmmm, langitnya cerah," gumamku saat kutemui wajah cakrwala tak lagi berselimut mendung seperti masa yang sama, saat kemarin aku terjaga.

Sejenak kunikmati aroma pagi, Penuh keteduhan, penuh kedamaian.
Tiba-tiba sekilas bayang itu muncul. Sebuah wajah dengan senyuman khas tersimpul. Dia adalah gadis kemarin sore, yang kutemui dan kubawa mimpi hingga malam tadi.

Getar-getar hatiku semakin tak karuan, saat kubayangkan separas ayunya yag telah membuatku terpana. "Apakah aku telah jatuh cinta," tanyaku dalam hati, meski baru pertama kali aku berjumpa dengannya.

Terus-terus saja lamunanku semakin jauh, menyusuri rongga-rongga rasa yang kupunya.
Dan beberapa waktu telah berlalu. Satu jam kiranya aku termangu disini.
kusadarkan diri lagi, memandang jauh itu sapa mentari yang mulai meniti langit timur.

"Sungguh indahnya," gumamku, mengagumi ciptaan yang maha kuasa. Ini pagi yang cerah, pagi yang membuatku bergairah. Apa lagi dengan hadirnya sekilas bayang itu datang menyapa, membuatkan kian semangat untuk menjejakkan langkah.

"Hari ini aku berharap berjumpa lagi dengannya," asaku dalam hati. Karena kenyataanya aku telah terpesona atau apalah ini cinta namanya. Ya, dia gadis kemarin yang kuimpikan malam tadi.

Lalu, aku beranjak dari sisi jendela menuju tempat di mana aku akan membasuh raga. Kupersiapkan diri, kuyakinkan hati untuk kembali menyusuri pagi hingga malam menyambangi. Dengan satu harap, kan kutemukan dia gadis bercadar pelangi lagi.

"Tunggulah aku akan datang, duhai kau gadis yang selalu membayang," itu ucapku nampak bersemangat di pagi yang cerah ini.

2-1

pada pelupuk sepi
rinai-rinai membatas antara malam dan pagi
sekejap hilangnya seperti mimpi
kata jelangnya serupa mentari

dua terbagi,
satu mengendap untuk berlalu pergi
setelahnya membumi terpijak misteri
terkubur dalam kubangan sunyi

sepi dan sunyi
terlintas tanpa pembatas
layaknya bisik-bisik semedi
terulas namun tak begitu jelas


dua meninggalkan satu
terbuang tak di kenang
apalah tetap itu diburu,
yang hilang tiada berpulang

Kamis, 26 Februari 2015

TAK DAPAT KUINGKARI

Sibak temaram malam
Kucoba alirkan cahaya dari pembiasan rembulan berkaca rindu
Rindu,
pada separas bintang dari seraut wajah yang membayang
Tergugu,
melukis kenang akan kisah yang semalam tadi menjelang

Hmmm,
begitu jelas terhutang
Membenih dari penyemaian rasa setelah lepas sapa itu menghilang
Larut membawa mimpi,
hingga sepucuk kata pagi menyadarkan diri

Dan selepasnya adalah masa tunggu
Mengukur jejak-jejak waktu memupuk rindu
Sampai malam ini bertamu


Ahh, memang benar
Tak mungkin untuk kuingkari
Ini seperti apa yang telah menjalar
Mendetak denyut nadi dalam urat-urat hati
Cinta telah nyata tercipta tanpa kata permisi
Lagi ...

SERUPA APAKAH ...?

Ataukah seperti terpaku aku ini dalam kujur sunyi
Hilang kesadaran mengguris keheningan
Berbicara terhenti di perasaan
Kelu di bibir tak mampu terucapkan

Serupa apakah ...?
Serupa apakah yang harus kujalani
Jauh itu tak nampak pelangi yang kunanti
Meski kiranya gerimis telah terhenti membias cahaya mentari
Adanya tak ada
Asanya putus asa

Dan bagaimanapun jua kini
Kata rinduku adalah teman sejati
Tertulis itu dalam suratan kata
Terbaca layaknya kais nada dari serpihan aksara

Begitulah kisah yang menjadi kenangku kini
Menghiasi hari-hari dengan sulaman seribu asa hati
Semoga keindahan itu ada untu kumiliki

Karna ...
Masih tersisa rasa itu terwujud dari rindu yang menggebu
Meski kutahu nyatanya waktu tak memberi ruang untuku memadu

Jumat, 20 Februari 2015

BUKU DAN SECANGKIR KOPI

Kembali pagiku berteman buku dan secangkir kopi
Menjenjang jarak waktu di lintas cahaya surya yang mulai meninggi
Di sini ...
Di meja kamarku di samping jendela biasa tempatku memandangi panorama biru
Aku duduk terpaku,
Mencoba menuliskan sederet aksara dalam titian rindu

Ahhh ...
Ini nafas yang sama dengan masa yang berbeda
Serupa lalu aku pun jua menikmatinya dengan keheningan jiwa
Dalam batas geming kuluah renung pikirku mendenting
Masih tak berpaling dari langkah ujung penaku menyingsing

Hmmm ... biarlah seperti ini
Jauh riuh tak menimbun caci-caci
Leluasa kujejar-jejar kata jemari menari
Tanpa batasan kutuliskan lenguh hati dalam lembaran sepi
Seperti ini,
Seperti kelegaan kudapati
Serupa lagi,
Kedamaian pikir kuurapi

Ya, kembali pagiku berteman buku dan secangkir kopi
Menjadi itu setangkai laku diri mencuri dengar bisik mentari
Untuk siang nanti kulaung biru di pucuk seri
Untuk semilir sendu kujenguk senyuman dari hati
Semua dimulai pagi ini ...
SEBATAS CINTA DALAM RINDU

Siang  mulai menapaki senja saat gerimis itu tiba-tiba menitis dari urai-urai langit yang bermuram durja. Nampak di sana seorang pria duduk termangu memandang jauh cakrawala dari sebuah rumah pohon di tepi hutan menikmati rinai kebasahan gerimis yang kiranya telah menjadi hujan. Di wajahnya mengguratkan kedukaan dalam rindu akan sebuah sosok yang selalu menjadi lamunan.
“Dek, Kakak merindukanmu,” ucapnya lirih sembari menahan air mata yang pada akhirnya tetap tercurah. Dia tertunduk merenungi lebih dalam gelayut perasaan yang begitu menggelisahkannya. Tak lama dia terdiam,  lamunannya jauh mengawang ke kisah dua tahun silam.
**
 “Ahh, hujannya kok gak reda-reda ya? Bisa kesorean aku pulangnya,” kata seorang gadis berseragam SMA berdiri menungu hujan reda. Dia adalah Zahra murid baru pindahan dari bandung sepekan yang lalu.“Belum pulang dek?” tanya tiba-tiba seseorang yang mengagetkannya.
“Hmmm ... Kak Arsa. Lihat itu Kak! Hujannya deras banget, gimana Ra bisa pulang. Ra harus kedepan sana dulu nungguin angkot yang belum tentu akan lewat, sedang Ra sendiri gak bawa payung, makanya dari tadi Ra berdiri saja di sini kebingungan,” jawabanya menjelaskan.
“Oh gitu toh! Mau Kakak antar pulang, gak? Tapi dibonceng motor,” kata Arsa menawarkan tumpangan.
“Emm ... gimana ya,” ucap Ra nampak ragu.
“Jangan khawatir Dek, Kakak gak gigit kok! Kakak juga kebetulan bawa jas hujan, cukuplah kiranya buat kita berdua,” kata Arsa meyakinkan.
“Oke deh Kak, Tapi pelan-pelan bawa motornya! Ra takut kecepatan,” ucap Ra akhirnya menerima tawaran Arsa.
“Baiklah! Bentar ya Adek tunggu sini! Kakak mau ambil motor dulu di parkiran,” pinta Arsa. Setelah itu dia melenggang pergi menuju tempat di mana motornya berada. Tak seberapa lama dia telah kembali di depan Ra dengan membawa motor kesayangannya. “Ayo Dek sini naik!” pinta Arsa kepada Ra.
“Oh ya Kak,” jawab Ra sembari menyusup di balik jas hujan kelelawar membonceng motor Arsa.
 “Maaf ya Dek, kalau motornya butut.”
“Ihh Kakak kok ngomong gitu, gak apa-apa lagian, Kak!”
Akhirnya Arsa melajukan motornya menyongsong derasnya hujan sore itu. Nampak air menggenang di mana-mana menutupi jalanan. Jarak pandang pun jadi terbatas. Arsa masih tetap melajukan motornya dengan hati-hati. Sampai tiba-tiba, duar! Bunyi petir menggelegar dengan kilatan cahaya di antara hujan. Seketika itu Ra memeluk erat pinggang Arsa di balik jas hujan. Arsa pun tersentak, lalu dia menepi menghentikan laju motornya.
“Ada apa Dek?” tanya Arsa kepada Ra atas tingkahnya yang tiba-tiba memeluknya.
“Gak ada apa-apa Kak! Cuma Ra takut sama petir aja,” jawabnya lirih.
“Owh, kirain ....”
Setelah itu Arsa kembali melajukan motornya menyongsong deras hujan yang kini bersahutan dengan suara petir yang menggelegar. Ra pun semakin erat melingkarkan tangannya di pinggang Arsa. Dia nampaknya benar-benar takut dengan petir. Berbeda dengan Arsa seperti salah tingkah sedari mula pelukan Ra itu mengejutkannya tadi. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyusup dalam pikirannya. Sebuah kehangatan yang dia rasakan lewat pelukan Ra, membuat lamunannya jauh mengawang.
Dhid dhid ...! Suara klakson mobil mengejutkannya yang sejenak tadi seperti hilang kesadaran dalam kecamuk perasaan tak menentu. Perjalanan pun berlanjut dengan Ra yang masih saja memeluk Arsa.  Sedang Arsa sendiri sibuk menepis perasaan yang aneh dalam hatinya sembari terus fokus melajukan motornya.
Sudah lima belas menit berlalu dan nampaknya rumah Ra sudah dekat. Arsa pun bertanya pada Ra, “Rumahmu di sebelah mana, Dek?”
“Itu yang paling ujung, Kak! Yang pagarnya bercat coklat,” jawab Ra sembari sedikit membuka jas hujan menunjukkan arah rumahnya.
Beberapa saat kemudian Arsa telah menghentikan motornya tepat di depan pagar rumah Ra. “Dek, ini udah sampai,” kata Arsa setelah mematikan mesin motornya.
“Oh ya, mampir dulu yuuk, Kak!” ucap Ra menawarkan pada Arsa untuk sejenak singgah di rumahnya.
“Kapan-kapan ajalah, Dek! Lagian Kakak juga harus buru-buru pulang.”
Setelah mendengar jawaban dari Arsa, Ra  mengucapkan terima kasih dan bergegas berlari menuju teras rumahnya. Arsa hanya bisa menatapnya dari atas motor bututnya. Entah apa yang dia rasakan, seperti sebuah kehilangan tatkala Ra akhirnya masuk ke dalam rumahnya. Sejenak dia terpaku dan kemudian kembali menyalakan motornya untuk bergegas pulang menuju rumahnya. Tak lama! Dia pun telah sampai. Sehabis memasukkan motornya dia langsung mandi untuk membersihkan diri dan selanjutnya melakukan kegiatannya, seperti yang dia lakukan sehari-hari.
Senja telah menutup ronanya tatkala aura kegelapan malam sudah benar-benar melingkupi semesta. Hujan pun telah reda, hanya tersisa genangan air di tanah-tanah basah yang tak lagi berdebu. Malam ini langit nampak cerah dengan rembulan sabit dan bintang-bintang yang berkelidan. Indah dan damai  itu kiranya kata yang paling tepat untuk disematkan pada nuansa malam ini. Namun berbeda dengan Arsa. Semua terasa menggelisahkan baginya. Masih terbayang-bayang dalam pikirannya tentang peristiwa senja tadi tatkala dia mengantar Ra. Gelisah hati dan perasaanya, bahkan keindahan malam pun tak mampu membuatnya dalam kedamaian. “Perasaan aneh apa yang kurasa ini?” tuturnya dalam hati sembari membaringkan diri mencoba menemui mimpi, berharap nantinya tatkala pagi menyapa kerisauannya pun ikut sirna.
Malam telah berganti pagi. Tersenyum mentari kembali menebar seri cahaya ke pelataran bumi. Nampak indah panorama langit dalam nuansa cerah di semua sisi. Seperti biasanya Ra berangkat sekolah dengan naik angkot. Itu pun harus berjalan kaki hingga ke ujung komplek untuk bisa menunggu angkot disana. Sebenarnya Ayahnya sudah menawarkan diri untuk antar jemput dirinya. Namun Ra bersikeras tidak mau. Dia ingin bisa mandiri dan tidak mau merepotkan orang lain, termasuk Ayahnya.
Sekitar lima puluh meter Ra berjalan meninggalkan rumahnya. Langkahnya terhenti tatkala sebuah motor tiba-tiba berhenti di depannya.
“Pagi Dek, berangkat bareng yuuk!” sapa seseorang yang tak lain adalah Arsa, dia mengajak Ra untuk berangkat bersama.
“Ihh Kakak, bikin kaget aja!” ucap Ra saat tahu kalau yang menghentikan motor tiba-iba itu Arsa.
“Gimana Dek, mau kan Kakak boncengin lagi?” harap Arsa.
“Gak ah Kak, Adek takut ntar jadi gosip di sekolah,” ucap Ra mencoba menolak.
“Gosip apaan sih? Biarin ajalah Dek, gak usah diambil pusing. Mau ya Kakak boncengin?” pinta Arsa lagi sembari meyakinkan Ra.
“Hmmm ... iya deh, tapi ntar Ra turun kalo udah deket sekolah ya!”
“Tapi ..., terserah Adek ajalah.”
Akhirnya Ra menyetujui tawaran Arsa untuk berangkat bersama. Sepanjang jalan lagi-lagi Arsa merasakan perasaan aneh yang kembali muncul saat tangan Ra menyentuh pinggangnya untuk berpegangan. Lima belas menit pun telah berlalu kiranya sebentar lagi mereka sampai di sekolah. Sesuai pinta Ra tadi Arsa menghentikan motornya beberapa meter sebelum sampai di gerbang sekolah. Ra turun dan mengucapkan terima kasih diiringi sebuah senyuman manis yang menggetarkan hati Arsa.
Jam istirahat! Nampak para siswa-siswi melakukan kegiatannya masing masing. Ada yang ke kantin, perpustakaan, duduk-duduk depan ruang kelas sekedar ngobrol dengan para siswa dan siswi lainnya. Namun berbeda dengan Arsa, dia masih di ruang kelas nampak sibuk menulis sesuatu hingga tiba-tiba tepukan tanggan di bahunya mengagetkannya. Itu perbuatan Iyan sahabat dekat Arsa sejak masa SMP.
“Gak makan ke kantin, Ar?” tanya Iyan pada temannya itu.
“Lagi males aja, lagian aku juga gak laper.”
“Owh ... terus itu lagi nulis apaan, puisi ya?” tanya Iyan lagi, karena sejak tadi dia perhatikan Arsa sibuk menulis sesuatu.
“Iya biasa, kau kan tahu sendiri ini emang hobiku,” jawab Arsa sembari terus menulis.
“Coba aku lihat!” Tanpa menunggu jawaban dari Arsa, Iyan menggambil buku catatan Arsa.
“Wah, kamu gak sabaran banget sih!” ucap Arsa sedikit kesal dengan kelakuan temannya itu.
“Ini seperti puisi orang yang lagi jatuh cinta aja? Jangan-jangan ...,” ucap Iyan yang nampak menyudutkan Arsa.
“Itu Cuma ngarang aja kok! Gak pake perasaan,” kilah Arsa.
“Yang bener? Pakai perasaan juga gak apa-apa kok! Aku ikut senang kalau kamu jatuh cinta, secara kamu kan jomblo, Ar!” Iyan menggoda temannya itu.
“Hmmm ... sebenarnya aku tertarik sama salah satu gadis di sekolah ini.”
“Sama siapa? Kok kamu gak pernah cerita sama aku, Ar!” tanya Iyan.
“Dia adek kelas kita! itu lho yang pindahan dari Bandung,”
Begitulah akhirnya Arsa mengakui kalau dia memang sedang jatuh cinta. Pembicaraan mereka terus berlangsung hingga bel masuk menghentikannya.
Hari demi hari berganti. Rasa cinta Arsa kepada Ra pun kian tumbuh bersemi. Namun, Arsa belum juga memiliki keberanian untuk mengutarakannya. Rasa cinta itu masih dipendamnya. Hanya lewat puisi-puisi di mading sekolah, dia mencurahkan perasaannya. Hingga pada suatu ketika dia mencantumkan nama Ra untuk sebuah puisi yang mengisahkan tentang seorang pria yang begitu pengecut untuk mengutarakan rasa cintanya kepada seorang gadis. Ra yang tahu kalau gadis yang dimaksud dalam puisi itu adalah dia menjadi penasaran, apa lagi sang penulis hanya meninggalkan inisial R A. Inisial yang seperti panggilannya, inisial yang tak dikenalnya. Sejak puisi pertama yang teruntuk Ra itu, setiap harinya selalu ada puisi yang serupa ditujukan kepadan dirinya. Ra merasa tersanjung sekaligus semakin penasaran dengan sosok penulis puisi-puisi itu. Sampai akhirnya Ra sengaja berangkat pagi-pagi untuk tahu siapa sebenarnya di balik semua puisi tersebut. Betapa terkejutnya dia saat memergoki ternyata si penulis tidak lain adalah Arsa. Dia pun langsung menghampiri dan menanyakan soal itu kepada Arsa.
 “Kakak ...,” sapa Ra yang tiba-tiba mengejutkan Arsa. Arsa pun salah tingkah dan nampak kebingungan.
“Adek!” ucap Arsa sembari tertunduk menyembunyikan rasa malunya karena ketahuan.
“Ternyata Kakak ya! Yang selama menulis puisi-puisi buat adek, kenapa gak jujur aja, Kak?” desak Ra.
“Ya Dek! Kakak ngaku, emang kakak yang menulis semua puisi itu. Kakak belum mempunyai keberanian untuk mengutarakannya langsung pada Adek, makanya Kakak sengaja menulis segala curahan perasaan Kakak sama Adek lewat puisi-puisi itu,” jelas Arsa.
“Terus inisial R A itu maksudnya apa?” tanya Ra.
“Itukah singkatan nama Kakak, Dek!”
“Maksudnya?” tanya Ra lagi masih nampak bingung.
“Ruhesa Arsawenda di singkat R A, itulah nama lengkap Kakak!” jawab  Arsa perihal inisial R A.
“Hmmm ... gitu ya, Adek baru tahu kalau itu nama lengkap Kakak.”
“Dek, entar sore ada waktu gak? Kakak mau ngajak Adek ke suatu tempat,” tanya Arsa tiba-tiba mengalihkan perhatian.
“Kemana Kak?”
“Entar Kakak kasih tahu, tapi mau kan? Kakak juga mau bicara jujur sama Adek.”
“Oke deh!” Akhirnya Ra menyetujui ajakan Arsa. Mereka pun berpisah seiring mulai banyak siswa-siswi lain yang berdatangan.
Siangnya seperti janji tadi pagi Arsa mengajak Ra ke suatu tempat. Tempat itu adalah rumah pohon di tepi hutan dengan pemandangan yang cukup indah. Di sana Arsa mengutarakan langsung perasaan cintanya pada Ra. Dan Ra juga ternyata merasakan hal sama dengannya. Rumah pohon itu menjadi saksi jalinan cinta mereka diiringi gerimis yang tiba-tiba turun seketika.
Setelah siang itu hari-hari terasa begitu indah bagi mereka berdua. Nuansa canda tawa, keromantisan senantiasa mewarnai jalinan kasih yang kini telah tumbuh kian berbunga-bunga. Apa lagi setiap hari Arsa semakin sering menulis puisi untuk Ra. Puisi yang begitu indah dibaca, puisi yang membuat iri para siswi lainnya.
Tak terasa tiga bulan telah berlalu sejak mereka resmi menjalin cinta. Hari itu, hari ke empat Ra tidak masuk sekolah. Dia dikabarkan sakit namun setiap kali Arsa ke rumahnya Ra selalu menolak untuk menemui. Arsa pun bertanya-tanya sesungguhnya apa yang terjadi. Apakah dia berbuat kesalahan hingga Ra seakan menjauh darinya. Akhirnya sore itu Arsa  bersikeras untuk menemui Ra. Kembali dia berkunjung ke rumah Ra untuk kesekian kalinya. Namun kali ini rumah nampak kosong. Berulang-ulang dia ketuk pintu berulang kali pula tanpa jawaban. Sampai seorang tetangga memberi tahu bahwa Ra dibawa ke rumah sakit kemarin sore. Tak membuang waktu Arsa bergegas menuju rumah sakit yang diberitahukan oleh tetangga tadi.
Sesampainya di rumah sakit Arsa langsung menuju kamar tempat Ra dirawat. Betapa pilunya perasaan Arsa tatkala melihat orang yang dicintainya nampak terlelap, terbaring lemah seakan tak berdaya. Arsa melangkah mendekati Ra, lalu dia mengusap keningnya dengan lembut. Ra pun terjaga dan terkejut saat dia melihat Arsa ada di sampingnya.
“Kakak ...,” ucap Ra lirih saat tahu orang yang dilihatnya adalah Arsa.
“Iya Dek, ini Kakak!”
“Kakak kok tahu kalau Adek ada di sini?” tanya Ra yang tak menyangka Arsa akan datang.
“Yang memberitahu tetangga Adek, tadi sewaktu  Kakak ke rumah Adek,” jawab Arsa
“Hmmm ... maafin Adek ya, Kak! Adek udah gak jujur sama Kakak soal penyakit Adek ini.”
“Kenapa Dek, kenapa Adek gak mau berbagi soal ini sama Kakak?”
“Adek gak mau Kakak bersedih gara-gara Adek, makanya Adek nutupin semua ini dari Kakak.”
Sejenak Arsa terdiam, menahan tetes air mata yang mencoba untu keluar. Hingga dia hanya mampu berucap, ”Adek, Kakak sayang Adek!”
“Ya Kak! Adek tahu itu. Adek juga sayang Kakak,” ucap Ra dengan seulas senyum yang coba dia sunggingkan.
Nuansa nampak begitu haru. Terlihat jelas binar-binar cinta antara mereka saling melekat satu sama lain. Cinta antara mereka bukan sekedar cinta dalam suka, tapi juga cinta dengan ketulusan meski kedukaan yang harus mereka hadapi bersama.
“Kak! Kakak mau bantuin Adek?” tanya Ra kepada Arsa tiba-tiba.
“Pasti Dek, semua akan Kakak lakukan demi Adek.”
“Adek mau ke rumah pohon kita,” pinta Ra dengan nada memohon.
“Tapi kan Adek lagi sakit.”
“Mau ya Kak? Adek mohon!”
Arsa pun tak mampu menolak permintaan Ra itu. Dengan diam-diam Arsa membawa keluar Ra dari rumah sakit dan langsung menuju rumah pohon mereka seperti permintaan Ra. Di sana mereka duduk bersanding. Ra merebahkan kepalanya bersandar pada bahu Arsa.
“Kak, Adek mau Kakak berjanji satu hal sama Adek. Teruslah menatap ke depan demi Adek ya! Adek gak mau Kakak bersedih, apa lagi menangis atas apa pun yang terjadi nantinya sama Adek. Janji ya Kak!” Arsa hanya terdiam menahan tangis yang begitu menyesak di dada. Tak mampu Dia untuk berkata iya karena sejujurnya itu sangat sulit baginya. Lalu dia menggenggam tangan Ra yang nampak terasa dingin. Dia merasa ada yang aneh.
“Dek, Dek ...!” berkali-kali dia ucapkan tapi tetap tanpa jawaban. Akhirnya dia tersadar bahwa Ra telah meninggal. Seketika air matanya pun pecah seiring rinai hujan yang tiba-tiba saja turun seakan ikut menangisi kepergian Ra untuk selamanya. Dia seperti kehilangan pelita untuk berjalan, kehilangan cahaya kebahagiaan yang selama ini dia dapatkan. Hujan yang menjadi saksi berseminya cinta mereka, hujan pula yang menjadi saksi perpisahan ruang dan waktu antara mereka.
***

“Dek maafkan Kakak, karena sampai saat ini Kakak masih tak mampu menahan tetes air mata ini. Kakak merindukanmu Dek,” ucap lirih Arsa sembari memandangi tetesan hujan dari rumah pohon tempat di mana Ra menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.

Selasa, 03 Februari 2015

PADA RONA PASI

pada kuntuman rona pasi
kukantungi kesah hati beribu jerih
menyepi ku di sini
merumput rindu di hulur hati yang ringkih

ahhh, 
kurangkah seribu kataku menyapih
aku diam dalam titik sepi
sesenyap rindu ini untuk yang terpilih
merujuk kenang hati sepenggal jarak nanti

kiranya rona pasi adalah warnaku lagi
menyketsa di hamparan sendu-sendu rupa memijah seri
aku tertawan tak melawan
ikutku meruntut tanpa pembelaan

ya sepi pada rina pasi
di sini aku sendiri merenungi lagi
adalah kesah-kesah hati berirama
merisau rasa dengan ribuan tanya

kapankah
bilamanakah
saat itu menjamah
bahagia menerjah

Rabu, 28 Januari 2015

PUISI KITA (rindu)

kembali kubaca puisi yang kita tulis bersama
sebuah patah-patah pena mengisahkan kupu-kertas dan kipas perangkai rindu
berembun ...
mata-mataku sendu
berkaca ...
bulir-bulir mendayu

aku menangis
kesekian kalinya
keberapa waktu nantinya
benar, benar kau sangka payah
sedari mula memang aku yang kalah

setiap kata ini
setiap puisi yang kita tulis
membawa rinduku berpulang
menyibak keluku membayang
senyuman
candaan
ah, aku mau itu kembali menjadi sapaan

entah ...
apa salahku berkilah
berharap setitik cerah di rembang malam yang menyanggah
kau yang menjadi separas cinta menambat rindu
adakah nanti di lain  masa kita akan berpadu
aku ingin itu ...

Sabtu, 24 Januari 2015

BERCINTA ... MALU!

di balik bukit kau haturkan pipian senja dengan gurat senyummu merona
berlatar itu sasana jingga mereguk biru membahana
dan kita pun bercinta  ...

hmmm, tak terasa jua petang menggulita
rubah nuansa sampai ke percikan buta
kau dan aku masih berpagut mesra
mendesah rasa dalam kecup-kecup cinta

malam-malam semakin syahdu
terajut rindu nan mengharu biru
rentangan waktu telah tertemu
kau dan aku pun berpadu

ahhh, masih di balik bukit yang itu
sulaman kasih tertaut penuh haru
bukan cinta angkara nafsu
hanya seulas senyum saling pandang malu-malu

SEKARAT RINDU

ketika kecup pagi membangunkanku dalam kedap mimpi
kelu kurasa saat sayatan hangat itu bukan sebuah huluran hati
hanya robek nuansa berbahasa cahaya
kembali menjelang mengetuk pintu gulita

aku kembali berada dalam keberadaan sunyi
menulis lagi catatan sepi dalam rajutan pena hati
tersiar kabarnya sebuah pertanda mimpi
berulang kali elegi memusara jadi katupan sunyi

duh bagimana ini ...
yang terangkat hanya sebagian yang kuingat
selebihnya adalah rindu menjerat
memabuk hati dalam canduan sekarat
datang melayat dalam sebentuk cinta tanpa karat

selalu, itu yang menjadi tajuk sepenjang waktu
melintas sendumelukis jejakan nan mengharu piru
adalah kau asa titian pena dalam kilah sepi
adakah hadirmu kembali di sini pagi ini

Kamis, 22 Januari 2015

INGKAR JANJI

aku mempertanyakan lagi ...
kenapa tak hukum aku saja diri,
dan biarkan air mata ini mengalir membasahi pipi
sungguh sekat ini begitu menyiksa
kau kata  tak ada air mata yang boleh bernama

aku hanya terdiam
seaat itu janji tak benar-benar kusulam
hanya anguk kecil menyeringai melain rupa
tak pada iya aku mengukuhkan sebuah kata
janji itu tersurat namun tak kujadikan maklumat

kini sepersekiannya waktu seharusnya membuatku mengerti
sebuah kepergian dengan uluk senyum mengiris relung hati
bagaimana bisa tak ada air mata
bagaimana tak mencurahkan rasa
aku berbohong lagi
kali ini aku menangis menyesak kepiluan sepi merintih sunyi

maaf, maafkan aku, tak kilah membuat pernyataan bisu
aku sungguh tak mampu berbias semu dengan senyman palsu
rindu ini masih padamu
merentang jarak ruang dan waktu

Rabu, 21 Januari 2015

KUTULIS LAGI

kuselipkan di antara jemari dan hati
lebih dalam mengerti keberadaan rindu menyepi
di sini kutuliskan lagi,
setajuk puisi bernuansa sunyi

baca, bacalah bila kau memahami
aku ini masih setia bergelut mimpi-mimpi
berharap kehadiran seri,
kuncup berbunga sapa bidadari

biar, biar saja mereka berkata apa
tak urung rasa menjadi penyela
adalah aku mengukuh jiwa
menyimpan rasa selalu terjaga

ya, sedianya ada ...
hilang enggan tetap bersua
kau yang jadi cerita
rasakah sama seperti ku jua

di antara jejeran diksi
kutulis sekali lagi
ini puisi perambah hati
untumu yang mau mengerti

BERTAHAN

bukan kesia-siaan rasa atau kecup nada bicara yang percuma
semua tersirat seperti adanya
kesah ini
resah ini
pun gelisah adalah penjabaran hati yang senantiasa menyergah

ya, aku mungkin tak begitu pandai untuk bicara
atau pun tak begitu layak untuk mengutarakan cinta
namun setidaknya telah kuungkap kejujuran jiwa
menghaturkan sebagaimana hati bicara dalam sebentuk pintalan kata

lalu kini aku tinggal menunggu
berharap jawaban dari sibak misteri yang masih mengelabu
entah itu meluka
entah itu jadi gulana
aku akan tetap bertahan menjadi sang pemuja
mengatas namakan cinta bukan sekedar kesia-sian rasa

maka mengertilah
ini aku takkan pernah mengalah

Senin, 19 Januari 2015

SELALUMU

aku ingin menjadi intonasi-intonasi puisi, membicarakan kau gadis berlesung pipi
biarlah diksi-diksi itu terbaca terlalu memuji, toh nyatanya itu dari hati bukan sketsa berparas imaji
benar ...
benar kukata, tak ada lain sisi caraku lagi berpuisi
muaranya tentangmu
kisahnya membicarakanmu

ahh, apa aku terlalu pasrah
mengumandangkan serbak-serbak kesah dari pulungan kata berserah
aku hanya mencoba mengikuti alur hati,
menujumu gadis pemuisi

lihatlah ...
aku ini apakah buta
aku ini apakah gila
tercandui rasa bernama cinta
terbelenggu rindu tanpa jeda

mengertilah ...
meski seulas senyummu tanpa berkata
kukait indan sedikit melegakan jiwa
kau menyapa seketika,
hilang kesahku menggulama

entahlah ...
seperti apa
seperti mimpi
kau kucinta, seruntut puisi melajurkan diksi-diksi

Sabtu, 17 Januari 2015

BERBEDA TAPI MASIH SAMA

mungkin aku akan terlahir berbeda
dengan sebuah tanya
dengan lain rupa
tapi, rasa itu akan tetap sama
ada terjaga
ada di jiwa

mungkin kelupaan akan menjadi jeda
menjadi penghantar rasa
menjadi penguji cinta
namun, satunya takkan merubah segala
yang terkenang membenak hati
yang terbayang mengembalikan arti

keberadaan hanya kelanjutan sebelumnya
mengupas tuntas akhir yang sempat membuta
pada arah cahaya
pada tuntunan pelita
kembali melangkah
kembali mengait indah
adakah salah
tak ingin kalah

yang berbeda untuk menjadi sama
waktu yang merisalahkan menyapa
yang tertinggal kembali dikenal
rasa itu mengekal tak untuk jadi sesal

Kamis, 15 Januari 2015

CINTANYA CINTA

bahkan malampun pasrah saat sebuah siratan cahaya itu menguliti basah berembun pagi yang menjamah
bahwa jua itu cinta datang dengan sendirinya tanpa uluk sapa atau kilah pertanda
antara perasaan sekelabat bayangan dalam lamunan
hati berkata rindu ini gelisah
bibir bicara kata,
rebah

dan akhirnya semua yang terangkum untuk aku gubah menjadi pemberandaan hati
menyela bias-bias misteri dari bawah sadar antara mimpi dan pasti
malam dengannya sebuah harapan  yang berpulang
pagi mengurai cahaya di batas gulita hilang
cintanya cinta yang berkata ada
adanya cinta, menyapa

hmmm ... aku yang terjaga
atas nama apa?
atas nama rasa
ini cintanya cinta
ini jiwanya jiwa
terbelah untuk menyatu
sepasang untuk memadu

tak salah
tak buta
yang terisalah pasti
yang tertasbih suci
pada mulanya hati
lalu memberi langkah kaki
cintanya cinta
adanya ada

SENYUMMU

Satu di antara jenjangan waktu
Kutemui masa tunggu dalam selembaran harap rindu
Segurat itu adalah wajah sendu
Mengulas senyum penuh candu membuatku terkapar bisu

Ya, kaukah itu gadis bertudung pelangi
Menebar warna-warni dalam kekah rasaku melumuri hati
Aku di sini senantiasa menanti sapamu menghampiri
Menjejah sepi dengan sekilas lamunan tentangmu tiada lain lagi

Ahh ... apa kubisa bicara
Terasa kelu bibir mengucap kata
Nyata hujam senyummu memanah jiwa
Aku pun terlena dalam nuansa bernama cinta

Inikah seperti jua kata mimpi
Melelap diri di pembaringan malam menjemput pagi
Inginnya tersentuh hati dalam lingkup kehangatan pasti
Kau di sisi meski sekedar menggurat senyum selepasnya pergi

Rabu, 14 Januari 2015

AKU MEMBUTUHKANMU

dalam sepi warnai raut ronaku menggelimang rindu
aku dan segala tumpah ego dan juga angkuh, terbata membisik sendu ...
"aku membutuhkanmu ...!"

benar,
ketiadaan memberiku makna kehadiran
kau yang kusangka dulu sebatas penyanding riuh perjalanan
lebih dalam kini kumaknai
lebih mengena nyatanya dalam hati
ada rindu di saatmu pergi
ada kehilangan yang tertahan sesak kutangisi

aku membutuhkanmu,
seketika itu keangkuhanku pun gugur tak tersisa lagi
hanya kerinduan
hanya sebuah harap kedatangan
meski terbaca kuucap kata
rasa ini ada dengan kegetiran hati yang membahana

cintakah? bukan,
lebih jauh dari sekedar pengertian dua hati dalam kisah percintaan
antara kita adalah jalinan merobek dinding pembatas jeda kasih dan persahabatan sejati
berbagi dengan cara lain cinta tak untuk sepasang kekasih
satu dalam pembahasan hati menyela reruntuhan masa yang semakin ringkih
aku dan kau
kau dan aku
serirama namun berbeda
rasa itu ada meski bukan cinta

Selasa, 13 Januari 2015

ADALAH AKU ...

Ternyata hanya pesiar yang tak pernah sampai ke dermaganya, tersebab waktu telah jauh menyelanya hingga ke pantai sebrang. Takdir ini seperti petikan dawai terakhir tatkala perhentian nada mati pasti dan tak meninggalkan bunyi. Aku yang bermimpi tak pernah nyata itu untuk kudapati.

Entahlah ....
Semua nampak seperti kubus buta membentuk ruang-ruang hampa. Terbalik menangis, melajur tertawa. Tersenyum merintih, diam penuh tanda tanya. Sekali lagi akankah sama? Berulangkali akankah beda? Yang terlihat tak seindah yang kudapat.

Benar-benat sesat jalan ini telah mengiringku ke pusaran waktu. tenggelam dalam himpunan badai bisu tanpa sedikit sanggahan pun mampu kupadu. Menjadi yang terdakwa, menjadi yang terpidana. Aku yang kalah padahal belum ingin menyerah.

Ternyata layaknya pesiar yang tak lagi mengenal dermaga. Hilang jauh dia di tengah samudra berteman gelombang dan badai yang tiada henti menyela. Adalah aku satu di antara pengemudi, hilang kendali sebatas intuisi dan rasa hati.

Senin, 12 Januari 2015

HARAP

kusulam puisi menjadi selimutku pagi ini
tercipta dari pintalan-pintalan benang rasa mengukuh jiwa
sekejap kumembuatnya,
sekilas pejam mata menemui mimpi
tersebut di setiap pembacaan ada,
sebuah nama terukir nyata

bukan, ini bukan untuknya
bukan pula untuk mereka yang di sana
ini tak lebih hanya untukmu semata
sebuah tatatanan diksi mewakilkan hati
kuharap kaumengerti ...

puisiku memang tak seindah kata mereka pujangga ternama
tak pun semengalun penyair dari sebagian kasta yang tertera
adalah ini nyata aku punya rasa
untukmu, tiada lain rupa

bacalah! sedikit ini aku punya urai rasa
sebentuk puisi dengan kesederhanaan bahasa
kau yang kucinta, setajuk harap dalam doa
pintaku senantiasa, kau sama sepertiku jua
cinta mencinta
cinta dicinta
mencinta dicinta

Sabtu, 10 Januari 2015

AKU DALAM DIAM

sebening embun aku diamkan percikan rindu yang melumuri basah hatiku
tersudut dalam ruang mimpi aku memainkan segala asumsi untuk keindahan nanti
senyum mentari
lengkung pelangi
lukisan saga senja
pancaran  purnama,
semua kubaurkan itu dalam laksa-laksa jiwa memunguti patahan-patahan cinta untuk kubentuk lagi

setiap pijakan adalah nada
setiap jejakan adalah irama,
tersusun itu layaknya pengiring rima rasa hingga berlagu cinta
tak bersuara, mengena di jiwa

biar semua itu tetap dalam hening
bersembunyi di balik lingkar sepi kebekuan hati
aku dalam diam, namun rasaku akan terus melayang,
memintal pesan-pesan rindu untuknya sang pujaan

Jumat, 09 Januari 2015

APAKAH SAMA?

bahkan malam pun pasrah tatkala pagi melahirkan cahaya
tak mengelak dia meski itu menundungnya untuk berganti nuansa
serupa itukah sama aku yang mencintai pada sesosok rupa
menggantungkan asa yang munkin akan membali membuihkn luka

ahhh, aku tak peduli
setidaknya ada secercah cahaya untuk kuurapi
meraih itu kebahagiaan dengan aroma cinta dari sang terpuja
kaulah itu gadis berparas pesona yang selalu menjadi lamunan jiwa

ya, semua yang ada padamu telah membuatku jatuh hati
dari senyuman hingga indah perkataan, menjerat itu layaknya candu yang mematikan
tiada kesempatan untuk berpaling lagi, menepis aura cintamu yang telah mengakuisisi
ya aku yang seperti hilang kesadaran dalam cintamu yang begitu melenakan

kenyataannya aku memang sengaja
jauh menyelam mencari kebenaran rasa
dan yang kutemu memang sesungguhnya aku cinta
bukan lagi sekelabat angan jiwa tak pernah nyata

lalu ...
apakah sama kau di sana
menyimpan cinta untukku yang mungkin terlihat buta
kuharap ada sedikit pintu hatimu terbuka
biar sedikit aku mampu menyela
menyentuh hatimu untuk menggulurkan sapa
menerima cintaku meski tak seketika menutarakan kata iya
namun setidaknya ada kesempatan bagiku lebih jauh menyemai rasa
hingga nantinya luluh hatimu berkata cinta

PUISIKU (rindu)

puisiku masih berkutat dengan malam
tercipta dengan rasa yang sederhana
kubesarkan dengan anak pinak kata-kata
menjadi sebuah rajutan aksara tersulam

rasa itu adalah rindu
rindu sebuah senyumman yang itu
rindu garis lengkung di gurat wajahnya sayu

hingga saat ini malam yang dinamai pagi
aku masih mencoba berpuisi mengikuti kata hati
tiada lelap kurasa
tiada mimpi menyapa
aku kiranya akan terus terjaga
menunggui perhelatan cahaya tatkala fajar menawarkan jingga

entahlah ... aku tak tahu
puisiku enggan menutup buku
pada malam pada pagi,
ataukah siang hingga senja nanti

puisiku,
puisi sebuah kerinduan
melajurkan kekah rasa dalam haturan kata berbahasa sendu
milikku

Kamis, 08 Januari 2015

TEMANI AKU MIMPI

temani aku lagi wahai mimpi,
meski nantinya kecup pagi akan kembali meninggalkan misteri dengan setajuk kerinduan dalam kujur sepi
itu tak mengapa, setidaknya sekejap aku mampu menikmati,
memeluk lebih erat bayangan kekasih heti

ya, malam ini biarkan aku tenggelam dalam muaramu
melaut anggan hingga perjamuan lupa diri melelapkan
aku sungguh ingin itu,
mengarungi penjelajahan dunia impian

temani aku lagi mimpi
mewujudkan sedikit asa yang tak untuk nyata dipenuhi
melepas penatku dalam sesak rindu
memadukan rasa selewat wahana bernuansa semu

temani aku lagi wahai mimpi ....

AKU CINTA KAU GADIS PEMUISI

gemulai menari lentik jemarimu memainkan kata pena hingga berwujud puisi
terbaca indah, dengan tatanan diksi-diksi penuh ruh untuk dinikmati
ya ... kau gadis pemuisi, kiranya telah membuatku jatuh hati
tak cukup aksaramu saja meriuhkan nuansa sunyi
senyummu pun terkilas membayangi

benar, benar aku memendam cinta
padamu ... sang pemilik ketukan nada aksara
sungguh niatku ingin mengungkapkan segala resah jiwa
menuturkan bahwasanya aku selalu merindumu sepanjang masa
setiap lamunanku ada, bayanganmu menguratkan pesona tiada habis kubaca

ini cinta ...
cinta bukan hasrat semata
padamu yang selama ini kubahasakan rasa
bukan, bukan sekedar rayu dalam jenjang tipu daya
ketulusan yang kujaga demi kebahagiaan pada masanya tiba
dan itu kau yang kuharap dapat kusanding di pelaminan dengan restu KUASA

mungkin ini terlihat seperti mimpi yang tak mungkin untuk dapat dipenuhi
namun begitu nyatanya cinta telah dalam mengikat hati
ya, kuakui, aku terlalu tinggi manyandang mimpi
namun itulah caraku meniti hari-hari
melangkahkan jejak-jejak kaki
berhulu bahagia nanti
kudapati ...

MAAFKAN AKU

Kembali kubaca lagi, sejak kutinggalkan kau terpasung bisu di antara apit buku  lemari tua itu. Ya ... aku ingin mencoba menyelami masa lalu dengan menyapamu lagi. Maafkan aku, mungkin aku terlihat melupakanmu. Kau pasti tau itu bukan maksudku. Aku hanya mencopa menatap kedepan, membunuh kedukaaan dengan sebuah kepergian yang tak pernah kubayangkan. Namun, sepertinya aku masih tak mampu untuk terlepas. Nyatanya kini kubuka lagi kau untuk kujajahi.

Ahhh ... baru sebentar saja kubaca, lamunanku telah jauh membahana ke kisah yang pernah ada. Kisah antara dua remaja saat di bangku SMA. Tatkala itu masih begitu kental rasa arogansi dan gengsi. Tak ada pemahaman yang lebih dalam untuk mengerti, terlalu mengacuhkan penerimaan diri saling melengkapi.

Sudahlah! Itu juga sudah menjadi masa lalu. Aku tak ingin terlarut. Niatku menyapamu lagi hanya sekedar ingin mengoreksi diri. Mencoba memperbakiki segalanya kini, meski mungkin butuh proses yang takkan seinstan membalikkan telapan tangan. Setidaknya aku telah berusaha, urusan hasil itu kuasaNYA.

Kau ya Kau, buku harianku yang kini tak pernah kunodai. Itu bukan karena aku melupakanmu. Aku hanya tak ingin menyimpan sebuah kedukaan lagi tatkala nanti kepergian kembali menghampiri. Maafkan aku, maafkan aku ...

BUKAN RAGU

seperti memberi judul di setiap puisi yang baru kubuat
begitulah rasanya hampir serupa, tatkala aku mau mengungkap kejujuran rasa yang membuatku sekarat
sedikit terbata padahal nyata kurasa
nampak tak punya daya meski itu terlihat semudah membaca

entahlah ...
tapi yang kutahu ini bukan keraguan
mungkin aku yang sedikit malu untuk mengatakan

antara diam dan berkalam
anta sendiri dan merajut titian hati
bagaimana aku melangkah
mungkinkah indah itu akan kujamah

ya, akan kucoba sekali lagi
memupuk itu daya untuk mengutarakan rasa hati
ini aku aku yang mencintaimu tanpa ragu
memendam segenap rasa rindu untuk sekedar melepas kesah di dalam relung kalbu

Rabu, 07 Januari 2015

KAMU SELALU ADA

siang ini langit mendung mengikuti jejak tulisanku yang mencoba bersenandung
biasa, ya biasa saja ...
tak ada yang berbeda,
masih tentang kamu, kamu dan kamu
tiga panggilan untuk satu nama
kamu ... yang kurindu

memang semua yang kutuliskan mengikuti arus rasaku bercerita
hujan
senja
malam
pelangi
embun,
semua terkabar tentangmu
terlukis di setiap sisi wahana yang aku baca

seperti siang ini dengan kubah mendung yang menyelimuti sasana
tetap kamu yang menjadi tajuk utama
di antara arakan awan berjejeran
di sela-sela telusur cahaya
kulihat kau di sana,
membayang
terngiang

benar, tak mampu sekejap matapun kukilah
kau ada di setiap kedip memperbarui cahaya
di antara retina
di sela-sela iris
kamu ya kamu ...
tersemat di semua penglihatanku sepanjang waktu

Selasa, 06 Januari 2015

PADA JARAK-JARAK MATA

kuntum-kuntum hati telah kurangkai pada jarak-jarak mata yang membuatku lunglai
beribu kejauhan membeku, setajuk harapan tentang rindu
ini aku ...

di jerit mengaduh
di kelakar bisu,
aku menyepuh
aku berlagu

bertukar sapa,
tak mengapa
tak tanya
tak apa

ah, hanya jarak-jarak mata yang kucoba tebas
memadukan dua sisi tanpa batas
antara dan di antara
mimpikah nyata
cinta ....

RINDU K-A-M-U

jemariku berhenti ...
terdiam di ujung mata pena bernama sepi
terakhir itu tertulis kata rindu
dan setelahnya ...
bisu yang kubaca
putih belum jua ternoda

apa yang terjadi ...
degup-degup rasaku mendenyut di antara kesah hati
merenung lebih dalam
mencoba tenggelam, untuk lebih faham

ya, akhirnya kutemukan satu kata
kutuliskan itu sehabis torehan rindu yang terjeda

K-A-M-U
kueja sembari kulajurkan dengan ujung pena
'rindu kamu' adalah yang terbaca setelahnya

CUKUP MENGAGUMIMU

tersengal, hembus nafas dalam degub kelu
ya ini kataku ...
antara melangkah dan payah
antara menyentuh dan jauh

aku payah untuk sekedar berucap kata
aku jauh untuk mencoba bertatap muka

senja ini ...
hanya mampu kulamunkan di antara rinai gerimis menitis
adalah itu wajahmu yang nampak tersenyum manis

apakah itu untukku
apakah ini hanya inginku
entahlah ...
satu caraku mungkin cukup mengagumimu
memandang indah semua yang terpancar darimu

PEMBACAANKU TENTANGMU (rindu)

ketika aku tak menemukan apapun untuk kubaca,
kupandang potretmu yang manis
kusentuh lengkung bibirmu yang tipis
disana,
ada seribu pembacaan yang takkan pernah habis kuulas
ada sejuta pengertian rasa yang seperti tiada ukuran batas

di teduh matamu
di lesung pipimu
kutemukan cinta,
kutemukan keteduhan dengan nuansa yang berbeda
bukan sekelebatan hilang lalu,
nyatanya kau selalu terngiang dalam wujud rindu

duh, bagaimana aku bisa bertahan
lakuku adalah hasil lakumu meski tak kau hiraukan
kataku adalah katamu meski jauh untuk tersampaikan

ya, aku cukup mengerti
hadirku mungkin sebatas kata fajar menemui pagi
hilang seri tatkala suguhan cahaya mulai mendaki
tak apalah ...
setidaknya aku pernah dianggap ada,
walau itu sekejap mata

dan ini yang terhatur adalah pembacaanku tentangmu
tentang senyuman itu yang telah jauh merenggut hatiku atas nama rindu


KAU YA KAU (aku cinta tanpa tanya)

Kebisuan ini mengendap dalam kataku
Kelu di bibir, terhatur dalam aksara kalbu
Ya, ini tentangmu yang di sana
Apakah serupa?
Apakah rasamu sama?

Ahh, aku tak ingin terlalu berharap lebih
Biar kucukupkan rasaku sebatas mencintai  tanpa letih
Entah nanti,
Entah bagaimana masanya memberiku jalan mendekati
Akan kupersunting kau tanpa sebuah alasan
Menyandingkan rasa atas nama ketulusan

Ya, biarkan waktu yang akan menjawab
Inikah harap ataukah langkah awal untuk mendekap
Kebenarannya,
Aku cinta dalam kagumku dengan seutas rupa tak bertanda tanya

Dan itulah kau orangnya ....

AKU RINDU

dahulu wajah ini sendu,
melukis rindu dalam tatapan sayu bernama kamu
semua waktu adalah caraku mengingatmu
pagi terngiang
siang terbayang
malam terkenang
tak ada kesempatanku untuk menghapusnya dalam kehilangan
sebuah bisikan
sebuah rajukan
manja
menggoda
bercanda,
itu semua yang membuatku takkan pernah terlupa

benar dahulu wajahku ini sendu saat kepergianmu,
namun kiranya kini juga masih sama tatapan itu masih tentangmu
dalam sudut mata ini jelas mengguratkan rindu
hingga berbuah itu butiran bening yang meluruh beku

aku rindu,
dalam isak tangisku benar, memang aku rindu

INIKAH CINTA?

Entah untuk ke berapa kalinya aku di sini. Duduk terpaku, menikmati panorama jingga dari guratan senja yang sebentar lagi menutup usia. Aku mengalihkan pandang ke sisi tempat dudukku.  Keluhku berkata, "Ah, lagi-lagi meja kosong yang menemaniku. Tak ada secangkir kopi atau pun cemilan yang bisa kunikmati." Aku tertunduk, menahan butiran bening yang mencoba keluar dari sudut mataku.

Sejenak aku seperti hilang kesadaran. Terdiam dalam hening, terkatup bibir dalam bisu. Aku merasakan begitu penat untuk menjajaki waktu. "Ting ..." tiba-tiba nada itu menyetakku. Ya itu tanda pesan masuk ke hp-ku. Seketika kulihat. "Hmmm, ini dari dia," ucapku lirih dengan seulas senyum yang kembali tersimpul dari bibirku.

Aku kembali bersemangat. Terbayang hari esok akan bertemu seorang gadis dengan sorot mata teduhnya yang akhir-akhir ini mencuri perhatianku. Dia adalah Randa, gadis yang seminggu lalu kukenal dari sebuah pasar malam di alun-alun kota. Tak sabar kumenanti. Senja pun tak lagi menjadi arah pandanganku mengamati. Ada satu rasa yang berbeda. "Inikah cinta? Entahlah ...."

Senin, 05 Januari 2015

MENANGISLAH

Di setiap ujung senyum itu ada air mata. Kupastikan, meski topeng nurani kau serupakan dengan tawa. Kutahu itu! Kedukaanmu terlihat jelas di sudut bening matamu.

“Kenapa harus berbohong? Bukankah kita telah berjanji atas nama rasa. Berbagi tawa, berbagi pula air mata. Adalah itu yang kita tautkan sewaktu simpulan jemari melambangkan ikat hati.”

Ya mungkin, sebatas keberadaanku kini tak berarti bagimu. Hanya cerita dari masa lalu, hadirku kaukuap bagai hempasan debu dalam semilir bayu. Hilang lalu.

Biarlah aku menjadi yang terlupa, namun tetap saja tak mampu kutinggalkan kau yang terjatuh dalam kubangan duka. Semua karena rasaku masih sama, untukmu sejak awal dulu kita bersua.

Aku tak memintamu untuk tersenyum, tak pula memaksamu untuk tertawa. Menangislah dengan kejujuran! Bahuku siap menanggung bebanmu sampai kapanpun jua.


Ingatlah kataku dulu! Berbagi itu lebih indah meski dalam perjamuan derita. Karena itulah arti kita satu dalam segala nuansa.

PEMBUKUAN RINDU

kubaca lagi dan kurenung masa yang telah berganti
kuselak lembar mimpi kiranya tercatat itu dalam risalah hati
penulisan sayogyanya tak cukup paham untuk kubaca
jua pembacaan terlalu rancu di setiap bahasa yang
tertera

misteri
...
sebuah kata yang menasbihkan itu layaknya jejak-jejak pencuri
datang dan pergi sejatinya telah mengena jauh dalam lubuk hati


rindu ...
mungkin itu yang jadi alasan kenang masa lalu
kembali mengarungi lamunan hingga lambung angan membumbung semu

salah ataukah tingkah yang terlalu berserah
keinginanku biarlah sejenak dapat kujamah
menelisik dalam rindu pada sebuah harian rasa yang kubaca
adalah kisah hati yang tertera nyata dalam relung jiwa

sampai kapan dan sampai masanya tak perlu lagi dipertanyakan
rindu ini akan selalu terjaga seiring cinta yang tetap kurasakan
berteman sebuah pembukuan cerita kasih ini kucoba ulas kembali
mengenang masa-masa dulu yang sudah jauh terlewat sampai kini
nyatanya cinta tetap saja mendiami hati

SALAH RASA

hingga kita bertemu dalam puisi
bercerita tentang hujan yang semula sepi
jemari-jemari saling bertutur menorehkan kisah hati
ada cinta di sana lewat sebuah kata pena merajut pintalan mimpi

hmmm,
tak kusangka semua tak lebih dari menjejak imajinasi
seperti itu terlelap dan kembali terbangun lagi
aku salah mengira
aku salah menerka
tak ada rasa
tak ada kesungguhan jiwa
semua hanya kata-kata,
hiasan noda pena dengan rajukan berbaur majas pesona

ya sudahlah, biar kutimbun lagi
terkubur rasa ini tak untuk terjalin dalam titian hati
aku mengerti,
katamu tak lebih dari suguhan mimpi menimang sunyi

INI CINTA BUKAN KE-EGOIS-AN RASA

Adalah bagaimana menanti tak membosankan untuk kunikmati. Tersuguh itu, kerinduan layaknya seduhan kopi dengan aroma candu meski pahit di bibir. Waktu tak pernah berlalu dengan sia-sia. Selalu ada namamu di sana meski sekelabatan maya belum untuk jadi nyata.

"Dek, Kakak suka padamu. Selayaknya rindu ini ada untuk berpadu, mencintaimu memberi semangat  menatap hari-hari baru," ungkapku meski sedikit terbata. Benar semua itu adanya, meski mungkin terlalu tergesa-gesa. Bukankah cinta yang memilih jalannya sendiri untuk bermuara. Seperti itu aku menemukanmu menjadi labuhan rasaku dalam rindu.

"Ah kau, Kak. Jangan membuatku tersipu! Lebih dari itu juga karena apa Kakak bisa mencintaiku secepat ini?" tanyanmu memburu, mencari artian antara rayu dan ketulusan kalbu. Memang kiranya terlalu tergesa-gesa aku mengungkap rasa. Mencurahkan benak jiwa dengan seuntaian kata yang bernama cinta. Padahal masih sangat muda waktu untuk saling kenal. Itu pun lewat dunia maya yang sering kali penuh dengan tipu daya.

"Dek, Kakak tak membutuhkan alasan untuk mencintaimu. Karena bagi Kakak alasan hanya akan menodai cinta itu sendiri. Semisal ketertarikan pada pada kuncup mekar mawar merekah, dianya akan terlupakan tatkala layu dan kering menjatuhkan kelopaknya. Kakak nggak ingin seperti itu, Dek. Kakak ingin Mencintaimu serupaan keterikatan pada wangi melati yang akan terus abadi meski kering dia dalam lapuk masa musim berganti," jawabku dengan keyakinan diri, bahwa cinta tak membutuhkan apapun untuk menjadi alasan. Buta dia dengan kemisteriannya tak terjelaskan kata-kata.

"Tapi Kak, setidaknya kan ada sesuatu yang menjadi landasan bagaimana Kakak bisa mencintai Adek. Setahu Adek meski cinta tak membutuhkan alasan, namun setidaknya ada sebuah penjelasan kenapa cinta itu bisa tumbuh dalam jiwa," katamu mempertanyakan cintaku yang mungkin terlihat terlalu tergesa-gesa.

Hmmm, aku bergumam. Mencoba menyelaraskan kata dan rasa. "Dek, Kakak mencintaimu tak lepas dari kedamaian yang Kakak rasa, juga sebuah kenyamanan yang Kakak dapatkan dari Adek. Senyuman, canda tawa, semua itu bagaikan basuhan kesejukan selepas penat fikir sepanjang hari. Dan kamulah orangnya Dek, yang memberikan itu pada Kakak," begitulah jawabku dengan sebenar-benarnya rasa dari hati sejak semula itu ada.

"Dan satu lagi Dek, Kakak nggak menuntut jawaban apalagi timbal balik atas perasaan ini. Kakak sudah cukup lega setelah mengutarakan perasaan cinta Kakak kepada Adek. Entah bagaimana nantinya adek menolak atau menerima, Kakak akan berusaha bijaksana untuk menyikapinya. Bilamana Kakak memang harus terhenti dikata mencintai tanpa dicintai, tak jadi itu kekecewaan apalagi kebencian. karna pada dasarnya cinta dalah ketulusan dan pengorbanan. Ketulusan untuk memberi kebahagiaan meski tidak dengan kebersamaan. Pengorbanan dengan mengubur keegoisan diri ke lubuk hati terdalam."

**

Mungkin terdengar munafik bilamana mencintai namun tak berharap dicintai. Namun alangkah lebih munafik lagi bilamana mencintai sesesorang dengan menjanjikan beribu kebahagiaan tanpa mengerti bahwa cinta tak sekedar saling memiliki. Kerelaan lebih berharga dengan seulas senyuman meski itu jauh dalam sentuhan. Seperti itu cinta yang akan kujaga hingga akhirnya ujung hayat merapuhkan raga. Kebahagiaanku adalah melihat orang-orang yang aku cintai bahagia.

Minggu, 04 Januari 2015

AKU

seperti langit yang menyembunyikan gelapnya pada rintihan hujan
aku ... adalah itu yang mencoba membiaskan rasa di balik senyuman
tawa kuhatur
canda kututur
jauh itu yang ada
luka menganga di jiwa

ya, aku begitu pengecut untuk mengungkap kebenaran
menimbun segala gejolak perasaan hingga membukit keresahan
sepi kujadikan kaitan gemuruh bercerita
sunyi kuhapuskan dengan tarian kata-kata
padahal jelas kurasa
hatiku begitu renta

salahkah?
bila kumenanggungnya sendiri
menerima segala dakwaan hina untuk kumiliki
karna betapapun tiada dayaku membalik sangka
terlalu kelu nadaku bicara membuka rahasia

ah, biar saja
memang sepertinya aku ditasbihkan menjadi yang tersisih
renta untuk memilih
ringkih untuk berharap lebih
kebahagiaan itu layaknya sebuah angan jauh
masih butuh banyak waktu untuk kutempuh