kembali kubaca puisi yang kita tulis bersama
sebuah patah-patah pena mengisahkan kupu-kertas dan kipas perangkai rindu
berembun ...
mata-mataku sendu
berkaca ...
bulir-bulir mendayu
aku menangis
kesekian kalinya
keberapa waktu nantinya
benar, benar kau sangka payah
sedari mula memang aku yang kalah
setiap kata ini
setiap puisi yang kita tulis
membawa rinduku berpulang
menyibak keluku membayang
senyuman
candaan
ah, aku mau itu kembali menjadi sapaan
entah ...
apa salahku berkilah
berharap setitik cerah di rembang malam yang menyanggah
kau yang menjadi separas cinta menambat rindu
adakah nanti di lain masa kita akan berpadu
aku ingin itu ...
aku
Rabu, 28 Januari 2015
Sabtu, 24 Januari 2015
BERCINTA ... MALU!
di balik bukit kau haturkan pipian senja dengan gurat senyummu merona
berlatar itu sasana jingga mereguk biru membahana
dan kita pun bercinta ...
hmmm, tak terasa jua petang menggulita
rubah nuansa sampai ke percikan buta
kau dan aku masih berpagut mesra
mendesah rasa dalam kecup-kecup cinta
malam-malam semakin syahdu
terajut rindu nan mengharu biru
rentangan waktu telah tertemu
kau dan aku pun berpadu
ahhh, masih di balik bukit yang itu
sulaman kasih tertaut penuh haru
bukan cinta angkara nafsu
hanya seulas senyum saling pandang malu-malu
berlatar itu sasana jingga mereguk biru membahana
dan kita pun bercinta ...
hmmm, tak terasa jua petang menggulita
rubah nuansa sampai ke percikan buta
kau dan aku masih berpagut mesra
mendesah rasa dalam kecup-kecup cinta
malam-malam semakin syahdu
terajut rindu nan mengharu biru
rentangan waktu telah tertemu
kau dan aku pun berpadu
ahhh, masih di balik bukit yang itu
sulaman kasih tertaut penuh haru
bukan cinta angkara nafsu
hanya seulas senyum saling pandang malu-malu
SEKARAT RINDU
ketika kecup pagi membangunkanku dalam kedap mimpi
kelu kurasa saat sayatan hangat itu bukan sebuah huluran hati
hanya robek nuansa berbahasa cahaya
kembali menjelang mengetuk pintu gulita
aku kembali berada dalam keberadaan sunyi
menulis lagi catatan sepi dalam rajutan pena hati
tersiar kabarnya sebuah pertanda mimpi
berulang kali elegi memusara jadi katupan sunyi
duh bagimana ini ...
yang terangkat hanya sebagian yang kuingat
selebihnya adalah rindu menjerat
memabuk hati dalam canduan sekarat
datang melayat dalam sebentuk cinta tanpa karat
selalu, itu yang menjadi tajuk sepenjang waktu
melintas sendumelukis jejakan nan mengharu piru
adalah kau asa titian pena dalam kilah sepi
adakah hadirmu kembali di sini pagi ini
kelu kurasa saat sayatan hangat itu bukan sebuah huluran hati
hanya robek nuansa berbahasa cahaya
kembali menjelang mengetuk pintu gulita
aku kembali berada dalam keberadaan sunyi
menulis lagi catatan sepi dalam rajutan pena hati
tersiar kabarnya sebuah pertanda mimpi
berulang kali elegi memusara jadi katupan sunyi
duh bagimana ini ...
yang terangkat hanya sebagian yang kuingat
selebihnya adalah rindu menjerat
memabuk hati dalam canduan sekarat
datang melayat dalam sebentuk cinta tanpa karat
selalu, itu yang menjadi tajuk sepenjang waktu
melintas sendumelukis jejakan nan mengharu piru
adalah kau asa titian pena dalam kilah sepi
adakah hadirmu kembali di sini pagi ini
Kamis, 22 Januari 2015
INGKAR JANJI
aku mempertanyakan lagi ...
kenapa tak hukum aku saja diri,
dan biarkan air mata ini mengalir membasahi pipi
sungguh sekat ini begitu menyiksa
kau kata tak ada air mata yang boleh bernama
aku hanya terdiam
seaat itu janji tak benar-benar kusulam
hanya anguk kecil menyeringai melain rupa
tak pada iya aku mengukuhkan sebuah kata
janji itu tersurat namun tak kujadikan maklumat
kini sepersekiannya waktu seharusnya membuatku mengerti
sebuah kepergian dengan uluk senyum mengiris relung hati
bagaimana bisa tak ada air mata
bagaimana tak mencurahkan rasa
aku berbohong lagi
kali ini aku menangis menyesak kepiluan sepi merintih sunyi
maaf, maafkan aku, tak kilah membuat pernyataan bisu
aku sungguh tak mampu berbias semu dengan senyman palsu
rindu ini masih padamu
merentang jarak ruang dan waktu
kenapa tak hukum aku saja diri,
dan biarkan air mata ini mengalir membasahi pipi
sungguh sekat ini begitu menyiksa
kau kata tak ada air mata yang boleh bernama
aku hanya terdiam
seaat itu janji tak benar-benar kusulam
hanya anguk kecil menyeringai melain rupa
tak pada iya aku mengukuhkan sebuah kata
janji itu tersurat namun tak kujadikan maklumat
kini sepersekiannya waktu seharusnya membuatku mengerti
sebuah kepergian dengan uluk senyum mengiris relung hati
bagaimana bisa tak ada air mata
bagaimana tak mencurahkan rasa
aku berbohong lagi
kali ini aku menangis menyesak kepiluan sepi merintih sunyi
maaf, maafkan aku, tak kilah membuat pernyataan bisu
aku sungguh tak mampu berbias semu dengan senyman palsu
rindu ini masih padamu
merentang jarak ruang dan waktu
Rabu, 21 Januari 2015
KUTULIS LAGI
kuselipkan di antara jemari dan hati
lebih dalam mengerti keberadaan rindu menyepi
di sini kutuliskan lagi,
setajuk puisi bernuansa sunyi
baca, bacalah bila kau memahami
aku ini masih setia bergelut mimpi-mimpi
berharap kehadiran seri,
kuncup berbunga sapa bidadari
biar, biar saja mereka berkata apa
tak urung rasa menjadi penyela
adalah aku mengukuh jiwa
menyimpan rasa selalu terjaga
ya, sedianya ada ...
hilang enggan tetap bersua
kau yang jadi cerita
rasakah sama seperti ku jua
di antara jejeran diksi
kutulis sekali lagi
ini puisi perambah hati
untumu yang mau mengerti
lebih dalam mengerti keberadaan rindu menyepi
di sini kutuliskan lagi,
setajuk puisi bernuansa sunyi
baca, bacalah bila kau memahami
aku ini masih setia bergelut mimpi-mimpi
berharap kehadiran seri,
kuncup berbunga sapa bidadari
biar, biar saja mereka berkata apa
tak urung rasa menjadi penyela
adalah aku mengukuh jiwa
menyimpan rasa selalu terjaga
ya, sedianya ada ...
hilang enggan tetap bersua
kau yang jadi cerita
rasakah sama seperti ku jua
di antara jejeran diksi
kutulis sekali lagi
ini puisi perambah hati
untumu yang mau mengerti
BERTAHAN
bukan kesia-siaan rasa atau kecup nada bicara yang percuma
semua tersirat seperti adanya
kesah ini
resah ini
pun gelisah adalah penjabaran hati yang senantiasa menyergah
ya, aku mungkin tak begitu pandai untuk bicara
atau pun tak begitu layak untuk mengutarakan cinta
namun setidaknya telah kuungkap kejujuran jiwa
menghaturkan sebagaimana hati bicara dalam sebentuk pintalan kata
lalu kini aku tinggal menunggu
berharap jawaban dari sibak misteri yang masih mengelabu
entah itu meluka
entah itu jadi gulana
aku akan tetap bertahan menjadi sang pemuja
mengatas namakan cinta bukan sekedar kesia-sian rasa
maka mengertilah
ini aku takkan pernah mengalah
semua tersirat seperti adanya
kesah ini
resah ini
pun gelisah adalah penjabaran hati yang senantiasa menyergah
ya, aku mungkin tak begitu pandai untuk bicara
atau pun tak begitu layak untuk mengutarakan cinta
namun setidaknya telah kuungkap kejujuran jiwa
menghaturkan sebagaimana hati bicara dalam sebentuk pintalan kata
lalu kini aku tinggal menunggu
berharap jawaban dari sibak misteri yang masih mengelabu
entah itu meluka
entah itu jadi gulana
aku akan tetap bertahan menjadi sang pemuja
mengatas namakan cinta bukan sekedar kesia-sian rasa
maka mengertilah
ini aku takkan pernah mengalah
Senin, 19 Januari 2015
SELALUMU
aku ingin menjadi intonasi-intonasi puisi, membicarakan kau gadis berlesung pipi
biarlah diksi-diksi itu terbaca terlalu memuji, toh nyatanya itu dari hati bukan sketsa berparas imaji
benar ...
benar kukata, tak ada lain sisi caraku lagi berpuisi
muaranya tentangmu
kisahnya membicarakanmu
ahh, apa aku terlalu pasrah
mengumandangkan serbak-serbak kesah dari pulungan kata berserah
aku hanya mencoba mengikuti alur hati,
menujumu gadis pemuisi
lihatlah ...
aku ini apakah buta
aku ini apakah gila
tercandui rasa bernama cinta
terbelenggu rindu tanpa jeda
mengertilah ...
meski seulas senyummu tanpa berkata
kukait indan sedikit melegakan jiwa
kau menyapa seketika,
hilang kesahku menggulama
entahlah ...
seperti apa
seperti mimpi
kau kucinta, seruntut puisi melajurkan diksi-diksi
biarlah diksi-diksi itu terbaca terlalu memuji, toh nyatanya itu dari hati bukan sketsa berparas imaji
benar ...
benar kukata, tak ada lain sisi caraku lagi berpuisi
muaranya tentangmu
kisahnya membicarakanmu
ahh, apa aku terlalu pasrah
mengumandangkan serbak-serbak kesah dari pulungan kata berserah
aku hanya mencoba mengikuti alur hati,
menujumu gadis pemuisi
lihatlah ...
aku ini apakah buta
aku ini apakah gila
tercandui rasa bernama cinta
terbelenggu rindu tanpa jeda
mengertilah ...
meski seulas senyummu tanpa berkata
kukait indan sedikit melegakan jiwa
kau menyapa seketika,
hilang kesahku menggulama
entahlah ...
seperti apa
seperti mimpi
kau kucinta, seruntut puisi melajurkan diksi-diksi
Sabtu, 17 Januari 2015
BERBEDA TAPI MASIH SAMA
mungkin aku akan terlahir berbeda
dengan sebuah tanya
dengan lain rupa
tapi, rasa itu akan tetap sama
ada terjaga
ada di jiwa
mungkin kelupaan akan menjadi jeda
menjadi penghantar rasa
menjadi penguji cinta
namun, satunya takkan merubah segala
yang terkenang membenak hati
yang terbayang mengembalikan arti
keberadaan hanya kelanjutan sebelumnya
mengupas tuntas akhir yang sempat membuta
pada arah cahaya
pada tuntunan pelita
kembali melangkah
kembali mengait indah
adakah salah
tak ingin kalah
yang berbeda untuk menjadi sama
waktu yang merisalahkan menyapa
yang tertinggal kembali dikenal
rasa itu mengekal tak untuk jadi sesal
dengan sebuah tanya
dengan lain rupa
tapi, rasa itu akan tetap sama
ada terjaga
ada di jiwa
mungkin kelupaan akan menjadi jeda
menjadi penghantar rasa
menjadi penguji cinta
namun, satunya takkan merubah segala
yang terkenang membenak hati
yang terbayang mengembalikan arti
keberadaan hanya kelanjutan sebelumnya
mengupas tuntas akhir yang sempat membuta
pada arah cahaya
pada tuntunan pelita
kembali melangkah
kembali mengait indah
adakah salah
tak ingin kalah
yang berbeda untuk menjadi sama
waktu yang merisalahkan menyapa
yang tertinggal kembali dikenal
rasa itu mengekal tak untuk jadi sesal
Kamis, 15 Januari 2015
CINTANYA CINTA
bahkan malampun pasrah saat sebuah siratan cahaya itu menguliti basah berembun pagi yang menjamah
bahwa jua itu cinta datang dengan sendirinya tanpa uluk sapa atau kilah pertanda
antara perasaan sekelabat bayangan dalam lamunan
hati berkata rindu ini gelisah
bibir bicara kata,
rebah
dan akhirnya semua yang terangkum untuk aku gubah menjadi pemberandaan hati
menyela bias-bias misteri dari bawah sadar antara mimpi dan pasti
malam dengannya sebuah harapan yang berpulang
pagi mengurai cahaya di batas gulita hilang
cintanya cinta yang berkata ada
adanya cinta, menyapa
hmmm ... aku yang terjaga
atas nama apa?
atas nama rasa
ini cintanya cinta
ini jiwanya jiwa
terbelah untuk menyatu
sepasang untuk memadu
tak salah
tak buta
yang terisalah pasti
yang tertasbih suci
pada mulanya hati
lalu memberi langkah kaki
cintanya cinta
adanya ada
bahwa jua itu cinta datang dengan sendirinya tanpa uluk sapa atau kilah pertanda
antara perasaan sekelabat bayangan dalam lamunan
hati berkata rindu ini gelisah
bibir bicara kata,
rebah
dan akhirnya semua yang terangkum untuk aku gubah menjadi pemberandaan hati
menyela bias-bias misteri dari bawah sadar antara mimpi dan pasti
malam dengannya sebuah harapan yang berpulang
pagi mengurai cahaya di batas gulita hilang
cintanya cinta yang berkata ada
adanya cinta, menyapa
hmmm ... aku yang terjaga
atas nama apa?
atas nama rasa
ini cintanya cinta
ini jiwanya jiwa
terbelah untuk menyatu
sepasang untuk memadu
tak salah
tak buta
yang terisalah pasti
yang tertasbih suci
pada mulanya hati
lalu memberi langkah kaki
cintanya cinta
adanya ada
SENYUMMU
Satu di antara
jenjangan waktu
Kutemui masa
tunggu dalam selembaran harap rindu
Segurat itu
adalah wajah sendu
Mengulas senyum
penuh candu membuatku terkapar bisu
Menebar
warna-warni dalam kekah rasaku melumuri hati
Aku di sini
senantiasa menanti sapamu menghampiri
Menjejah sepi
dengan sekilas lamunan tentangmu tiada lain lagi
Ahh ... apa
kubisa bicara
Terasa kelu
bibir mengucap kata
Nyata hujam
senyummu memanah jiwa
Aku pun terlena
dalam nuansa bernama cinta
Inikah seperti
jua kata mimpi
Melelap diri di
pembaringan malam menjemput pagi
Inginnya
tersentuh hati dalam lingkup kehangatan pasti
Kau di sisi
meski sekedar menggurat senyum selepasnya pergi
Rabu, 14 Januari 2015
AKU MEMBUTUHKANMU
dalam sepi warnai raut ronaku menggelimang rindu
aku dan segala tumpah ego dan juga angkuh, terbata membisik sendu ...
"aku membutuhkanmu ...!"
benar,
ketiadaan memberiku makna kehadiran
kau yang kusangka dulu sebatas penyanding riuh perjalanan
lebih dalam kini kumaknai
lebih mengena nyatanya dalam hati
ada rindu di saatmu pergi
ada kehilangan yang tertahan sesak kutangisi
aku membutuhkanmu,
seketika itu keangkuhanku pun gugur tak tersisa lagi
hanya kerinduan
hanya sebuah harap kedatangan
meski terbaca kuucap kata
rasa ini ada dengan kegetiran hati yang membahana
cintakah? bukan,
lebih jauh dari sekedar pengertian dua hati dalam kisah percintaan
antara kita adalah jalinan merobek dinding pembatas jeda kasih dan persahabatan sejati
berbagi dengan cara lain cinta tak untuk sepasang kekasih
satu dalam pembahasan hati menyela reruntuhan masa yang semakin ringkih
aku dan kau
kau dan aku
serirama namun berbeda
rasa itu ada meski bukan cinta
Selasa, 13 Januari 2015
ADALAH AKU ...
Ternyata hanya pesiar yang tak pernah sampai ke dermaganya, tersebab waktu telah jauh menyelanya hingga ke pantai sebrang. Takdir ini seperti petikan dawai terakhir tatkala perhentian nada mati pasti dan tak meninggalkan bunyi. Aku yang bermimpi tak pernah nyata itu untuk kudapati.
Entahlah ....
Semua nampak seperti kubus buta membentuk ruang-ruang hampa. Terbalik menangis, melajur tertawa. Tersenyum merintih, diam penuh tanda tanya. Sekali lagi akankah sama? Berulangkali akankah beda? Yang terlihat tak seindah yang kudapat.
Benar-benat sesat jalan ini telah mengiringku ke pusaran waktu. tenggelam dalam himpunan badai bisu tanpa sedikit sanggahan pun mampu kupadu. Menjadi yang terdakwa, menjadi yang terpidana. Aku yang kalah padahal belum ingin menyerah.
Ternyata layaknya pesiar yang tak lagi mengenal dermaga. Hilang jauh dia di tengah samudra berteman gelombang dan badai yang tiada henti menyela. Adalah aku satu di antara pengemudi, hilang kendali sebatas intuisi dan rasa hati.
Entahlah ....
Semua nampak seperti kubus buta membentuk ruang-ruang hampa. Terbalik menangis, melajur tertawa. Tersenyum merintih, diam penuh tanda tanya. Sekali lagi akankah sama? Berulangkali akankah beda? Yang terlihat tak seindah yang kudapat.
Benar-benat sesat jalan ini telah mengiringku ke pusaran waktu. tenggelam dalam himpunan badai bisu tanpa sedikit sanggahan pun mampu kupadu. Menjadi yang terdakwa, menjadi yang terpidana. Aku yang kalah padahal belum ingin menyerah.
Ternyata layaknya pesiar yang tak lagi mengenal dermaga. Hilang jauh dia di tengah samudra berteman gelombang dan badai yang tiada henti menyela. Adalah aku satu di antara pengemudi, hilang kendali sebatas intuisi dan rasa hati.
Senin, 12 Januari 2015
HARAP
kusulam puisi menjadi selimutku pagi ini
tercipta dari pintalan-pintalan benang rasa mengukuh jiwa
sekejap kumembuatnya,
sekilas pejam mata menemui mimpi
tersebut di setiap pembacaan ada,
sebuah nama terukir nyata
bukan, ini bukan untuknya
bukan pula untuk mereka yang di sana
ini tak lebih hanya untukmu semata
sebuah tatatanan diksi mewakilkan hati
kuharap kaumengerti ...
puisiku memang tak seindah kata mereka pujangga ternama
tak pun semengalun penyair dari sebagian kasta yang tertera
adalah ini nyata aku punya rasa
untukmu, tiada lain rupa
bacalah! sedikit ini aku punya urai rasa
sebentuk puisi dengan kesederhanaan bahasa
kau yang kucinta, setajuk harap dalam doa
pintaku senantiasa, kau sama sepertiku jua
cinta mencinta
cinta dicinta
mencinta dicinta
tercipta dari pintalan-pintalan benang rasa mengukuh jiwa
sekejap kumembuatnya,
sekilas pejam mata menemui mimpi
tersebut di setiap pembacaan ada,
sebuah nama terukir nyata
bukan, ini bukan untuknya
bukan pula untuk mereka yang di sana
ini tak lebih hanya untukmu semata
sebuah tatatanan diksi mewakilkan hati
kuharap kaumengerti ...
puisiku memang tak seindah kata mereka pujangga ternama
tak pun semengalun penyair dari sebagian kasta yang tertera
adalah ini nyata aku punya rasa
untukmu, tiada lain rupa
bacalah! sedikit ini aku punya urai rasa
sebentuk puisi dengan kesederhanaan bahasa
kau yang kucinta, setajuk harap dalam doa
pintaku senantiasa, kau sama sepertiku jua
cinta mencinta
cinta dicinta
mencinta dicinta
Sabtu, 10 Januari 2015
AKU DALAM DIAM
sebening embun aku diamkan percikan rindu yang melumuri basah hatiku
tersudut dalam ruang mimpi aku memainkan segala asumsi untuk keindahan nanti
senyum mentari
lengkung pelangi
lukisan saga senja
pancaran purnama,
semua kubaurkan itu dalam laksa-laksa jiwa memunguti patahan-patahan cinta untuk kubentuk lagi
setiap pijakan adalah nada
setiap jejakan adalah irama,
tersusun itu layaknya pengiring rima rasa hingga berlagu cinta
tak bersuara, mengena di jiwa
biar semua itu tetap dalam hening
bersembunyi di balik lingkar sepi kebekuan hati
aku dalam diam, namun rasaku akan terus melayang,
memintal pesan-pesan rindu untuknya sang pujaan
Jumat, 09 Januari 2015
APAKAH SAMA?
bahkan malam pun pasrah tatkala pagi melahirkan cahaya
tak mengelak dia meski itu menundungnya untuk berganti nuansa
serupa itukah sama aku yang mencintai pada sesosok rupa
menggantungkan asa yang munkin akan membali membuihkn luka
ahhh, aku tak peduli
setidaknya ada secercah cahaya untuk kuurapi
meraih itu kebahagiaan dengan aroma cinta dari sang terpuja
kaulah itu gadis berparas pesona yang selalu menjadi lamunan jiwa
dari senyuman hingga indah perkataan, menjerat itu layaknya candu yang mematikan
tiada kesempatan untuk berpaling lagi, menepis aura cintamu yang telah mengakuisisi
ya aku yang seperti hilang kesadaran dalam cintamu yang begitu melenakan
kenyataannya aku memang sengaja
jauh menyelam mencari kebenaran rasa
dan yang kutemu memang sesungguhnya aku cinta
bukan lagi sekelabat angan jiwa tak pernah nyata
lalu ...
apakah sama kau di sana
menyimpan cinta untukku yang mungkin terlihat buta
kuharap ada sedikit pintu hatimu terbuka
biar sedikit aku mampu menyela
menyentuh hatimu untuk menggulurkan sapa
menerima cintaku meski tak seketika menutarakan kata iya
namun setidaknya ada kesempatan bagiku lebih jauh menyemai rasa
hingga nantinya luluh hatimu berkata cinta
PUISIKU (rindu)
puisiku masih berkutat dengan malam
tercipta dengan rasa yang sederhana
kubesarkan dengan anak pinak kata-kata
menjadi sebuah rajutan aksara tersulam
rasa itu adalah rindu
rindu sebuah senyumman yang itu
rindu garis lengkung di gurat wajahnya sayu
hingga saat ini malam yang dinamai pagi
aku masih mencoba berpuisi mengikuti kata hati
tiada lelap kurasa
tiada mimpi menyapa
aku kiranya akan terus terjaga
menunggui perhelatan cahaya tatkala fajar menawarkan jingga
entahlah ... aku tak tahu
puisiku enggan menutup buku
pada malam pada pagi,
ataukah siang hingga senja nanti
puisiku,
puisi sebuah kerinduan
melajurkan kekah rasa dalam haturan kata berbahasa sendu
milikku
tercipta dengan rasa yang sederhana
kubesarkan dengan anak pinak kata-kata
menjadi sebuah rajutan aksara tersulam
rasa itu adalah rindu
rindu sebuah senyumman yang itu
rindu garis lengkung di gurat wajahnya sayu
hingga saat ini malam yang dinamai pagi
aku masih mencoba berpuisi mengikuti kata hati
tiada lelap kurasa
tiada mimpi menyapa
aku kiranya akan terus terjaga
menunggui perhelatan cahaya tatkala fajar menawarkan jingga
entahlah ... aku tak tahu
puisiku enggan menutup buku
pada malam pada pagi,
ataukah siang hingga senja nanti
puisiku,
puisi sebuah kerinduan
melajurkan kekah rasa dalam haturan kata berbahasa sendu
milikku
Kamis, 08 Januari 2015
TEMANI AKU MIMPI
temani aku lagi wahai mimpi,
meski nantinya kecup pagi akan kembali meninggalkan misteri dengan setajuk kerinduan dalam kujur sepi
itu tak mengapa, setidaknya sekejap aku mampu menikmati,
memeluk lebih erat bayangan kekasih heti
ya, malam ini biarkan aku tenggelam dalam muaramu
melaut anggan hingga perjamuan lupa diri melelapkan
aku sungguh ingin itu,
mengarungi penjelajahan dunia impian
temani aku lagi mimpi
mewujudkan sedikit asa yang tak untuk nyata dipenuhi
melepas penatku dalam sesak rindu
memadukan rasa selewat wahana bernuansa semu
temani aku lagi wahai mimpi ....
meski nantinya kecup pagi akan kembali meninggalkan misteri dengan setajuk kerinduan dalam kujur sepi
itu tak mengapa, setidaknya sekejap aku mampu menikmati,
memeluk lebih erat bayangan kekasih heti
ya, malam ini biarkan aku tenggelam dalam muaramu
melaut anggan hingga perjamuan lupa diri melelapkan
aku sungguh ingin itu,
mengarungi penjelajahan dunia impian
temani aku lagi mimpi
mewujudkan sedikit asa yang tak untuk nyata dipenuhi
melepas penatku dalam sesak rindu
memadukan rasa selewat wahana bernuansa semu
temani aku lagi wahai mimpi ....
AKU CINTA KAU GADIS PEMUISI
gemulai menari lentik jemarimu memainkan kata pena hingga berwujud puisi
terbaca indah, dengan tatanan diksi-diksi penuh ruh untuk dinikmati
ya ... kau gadis pemuisi, kiranya telah membuatku jatuh hati
tak cukup aksaramu saja meriuhkan nuansa sunyi
senyummu pun terkilas membayangi
benar, benar aku memendam cinta
padamu ... sang pemilik ketukan nada aksara
sungguh niatku ingin mengungkapkan segala resah jiwa
menuturkan bahwasanya aku selalu merindumu sepanjang masa
setiap lamunanku ada, bayanganmu menguratkan pesona tiada habis kubaca
ini cinta ...
cinta bukan hasrat semata
padamu yang selama ini kubahasakan rasa
bukan, bukan sekedar rayu dalam jenjang tipu daya
ketulusan yang kujaga demi kebahagiaan pada masanya tiba
dan itu kau yang kuharap dapat kusanding di pelaminan dengan restu KUASA
mungkin ini terlihat seperti mimpi yang tak mungkin untuk dapat dipenuhi
namun begitu nyatanya cinta telah dalam mengikat hati
ya, kuakui, aku terlalu tinggi manyandang mimpi
namun itulah caraku meniti hari-hari
melangkahkan jejak-jejak kaki
berhulu bahagia nanti
kudapati ...
terbaca indah, dengan tatanan diksi-diksi penuh ruh untuk dinikmati
ya ... kau gadis pemuisi, kiranya telah membuatku jatuh hati
tak cukup aksaramu saja meriuhkan nuansa sunyi
senyummu pun terkilas membayangi
benar, benar aku memendam cinta
padamu ... sang pemilik ketukan nada aksara
sungguh niatku ingin mengungkapkan segala resah jiwa
menuturkan bahwasanya aku selalu merindumu sepanjang masa
setiap lamunanku ada, bayanganmu menguratkan pesona tiada habis kubaca
ini cinta ...
cinta bukan hasrat semata
padamu yang selama ini kubahasakan rasa
bukan, bukan sekedar rayu dalam jenjang tipu daya
ketulusan yang kujaga demi kebahagiaan pada masanya tiba
dan itu kau yang kuharap dapat kusanding di pelaminan dengan restu KUASA
mungkin ini terlihat seperti mimpi yang tak mungkin untuk dapat dipenuhi
namun begitu nyatanya cinta telah dalam mengikat hati
ya, kuakui, aku terlalu tinggi manyandang mimpi
namun itulah caraku meniti hari-hari
melangkahkan jejak-jejak kaki
berhulu bahagia nanti
kudapati ...
MAAFKAN AKU
Kembali kubaca lagi, sejak kutinggalkan kau terpasung bisu di antara apit buku lemari tua itu. Ya ... aku ingin mencoba menyelami masa lalu dengan menyapamu lagi. Maafkan aku, mungkin aku terlihat melupakanmu. Kau pasti tau itu bukan maksudku. Aku hanya mencopa menatap kedepan, membunuh kedukaaan dengan sebuah kepergian yang tak pernah kubayangkan. Namun, sepertinya aku masih tak mampu untuk terlepas. Nyatanya kini kubuka lagi kau untuk kujajahi.
Ahhh ... baru sebentar saja kubaca, lamunanku telah jauh membahana ke kisah yang pernah ada. Kisah antara dua remaja saat di bangku SMA. Tatkala itu masih begitu kental rasa arogansi dan gengsi. Tak ada pemahaman yang lebih dalam untuk mengerti, terlalu mengacuhkan penerimaan diri saling melengkapi.
Sudahlah! Itu juga sudah menjadi masa lalu. Aku tak ingin terlarut. Niatku menyapamu lagi hanya sekedar ingin mengoreksi diri. Mencoba memperbakiki segalanya kini, meski mungkin butuh proses yang takkan seinstan membalikkan telapan tangan. Setidaknya aku telah berusaha, urusan hasil itu kuasaNYA.
Kau ya Kau, buku harianku yang kini tak pernah kunodai. Itu bukan karena aku melupakanmu. Aku hanya tak ingin menyimpan sebuah kedukaan lagi tatkala nanti kepergian kembali menghampiri. Maafkan aku, maafkan aku ...
Ahhh ... baru sebentar saja kubaca, lamunanku telah jauh membahana ke kisah yang pernah ada. Kisah antara dua remaja saat di bangku SMA. Tatkala itu masih begitu kental rasa arogansi dan gengsi. Tak ada pemahaman yang lebih dalam untuk mengerti, terlalu mengacuhkan penerimaan diri saling melengkapi.
Sudahlah! Itu juga sudah menjadi masa lalu. Aku tak ingin terlarut. Niatku menyapamu lagi hanya sekedar ingin mengoreksi diri. Mencoba memperbakiki segalanya kini, meski mungkin butuh proses yang takkan seinstan membalikkan telapan tangan. Setidaknya aku telah berusaha, urusan hasil itu kuasaNYA.
Kau ya Kau, buku harianku yang kini tak pernah kunodai. Itu bukan karena aku melupakanmu. Aku hanya tak ingin menyimpan sebuah kedukaan lagi tatkala nanti kepergian kembali menghampiri. Maafkan aku, maafkan aku ...
BUKAN RAGU
seperti memberi judul di setiap puisi yang baru kubuat
begitulah rasanya hampir serupa, tatkala aku mau mengungkap kejujuran rasa yang membuatku sekarat
sedikit terbata padahal nyata kurasa
nampak tak punya daya meski itu terlihat semudah membaca
entahlah ...
tapi yang kutahu ini bukan keraguan
mungkin aku yang sedikit malu untuk mengatakan
antara diam dan berkalam
anta sendiri dan merajut titian hati
bagaimana aku melangkah
mungkinkah indah itu akan kujamah
ya, akan kucoba sekali lagi
memupuk itu daya untuk mengutarakan rasa hati
ini aku aku yang mencintaimu tanpa ragu
memendam segenap rasa rindu untuk sekedar melepas kesah di dalam relung kalbu
begitulah rasanya hampir serupa, tatkala aku mau mengungkap kejujuran rasa yang membuatku sekarat
sedikit terbata padahal nyata kurasa
nampak tak punya daya meski itu terlihat semudah membaca
entahlah ...
tapi yang kutahu ini bukan keraguan
mungkin aku yang sedikit malu untuk mengatakan
antara diam dan berkalam
anta sendiri dan merajut titian hati
bagaimana aku melangkah
mungkinkah indah itu akan kujamah
ya, akan kucoba sekali lagi
memupuk itu daya untuk mengutarakan rasa hati
ini aku aku yang mencintaimu tanpa ragu
memendam segenap rasa rindu untuk sekedar melepas kesah di dalam relung kalbu
Rabu, 07 Januari 2015
KAMU SELALU ADA
siang ini langit mendung mengikuti jejak tulisanku yang mencoba bersenandung
biasa, ya biasa saja ...
tak ada yang berbeda,
masih tentang kamu, kamu dan kamu
tiga panggilan untuk satu nama
kamu ... yang kurindu
memang semua yang kutuliskan mengikuti arus rasaku bercerita
hujan
senja
malam
pelangi
embun,
semua terkabar tentangmu
terlukis di setiap sisi wahana yang aku baca
seperti siang ini dengan kubah mendung yang menyelimuti sasana
tetap kamu yang menjadi tajuk utama
di antara arakan awan berjejeran
di sela-sela telusur cahaya
kulihat kau di sana,
membayang
terngiang
benar, tak mampu sekejap matapun kukilah
kau ada di setiap kedip memperbarui cahaya
di antara retina
di sela-sela iris
kamu ya kamu ...
tersemat di semua penglihatanku sepanjang waktu
biasa, ya biasa saja ...
tak ada yang berbeda,
masih tentang kamu, kamu dan kamu
tiga panggilan untuk satu nama
kamu ... yang kurindu
memang semua yang kutuliskan mengikuti arus rasaku bercerita
hujan
senja
malam
pelangi
embun,
semua terkabar tentangmu
terlukis di setiap sisi wahana yang aku baca
seperti siang ini dengan kubah mendung yang menyelimuti sasana
tetap kamu yang menjadi tajuk utama
di antara arakan awan berjejeran
di sela-sela telusur cahaya
kulihat kau di sana,
membayang
terngiang
benar, tak mampu sekejap matapun kukilah
kau ada di setiap kedip memperbarui cahaya
di antara retina
di sela-sela iris
kamu ya kamu ...
tersemat di semua penglihatanku sepanjang waktu
Selasa, 06 Januari 2015
PADA JARAK-JARAK MATA
kuntum-kuntum hati telah kurangkai pada jarak-jarak mata yang membuatku lunglai
beribu kejauhan membeku, setajuk harapan tentang rindu
ini aku ...
di jerit mengaduh
di kelakar bisu,
aku menyepuh
aku berlagu
bertukar sapa,
tak mengapa
tak tanya
tak apa
ah, hanya jarak-jarak mata yang kucoba tebas
memadukan dua sisi tanpa batas
antara dan di antara
mimpikah nyata
cinta ....
beribu kejauhan membeku, setajuk harapan tentang rindu
ini aku ...
di jerit mengaduh
di kelakar bisu,
aku menyepuh
aku berlagu
bertukar sapa,
tak mengapa
tak tanya
tak apa
ah, hanya jarak-jarak mata yang kucoba tebas
memadukan dua sisi tanpa batas
antara dan di antara
mimpikah nyata
cinta ....
RINDU K-A-M-U
jemariku berhenti ...
terdiam di ujung mata pena bernama sepi
terakhir itu tertulis kata rindu
dan setelahnya ...
bisu yang kubaca
putih belum jua ternoda
apa yang terjadi ...
degup-degup rasaku mendenyut di antara kesah hati
merenung lebih dalam
mencoba tenggelam, untuk lebih faham
ya, akhirnya kutemukan satu kata
kutuliskan itu sehabis torehan rindu yang terjeda
K-A-M-U
kueja sembari kulajurkan dengan ujung pena
'rindu kamu' adalah yang terbaca setelahnya
terdiam di ujung mata pena bernama sepi
terakhir itu tertulis kata rindu
dan setelahnya ...
bisu yang kubaca
putih belum jua ternoda
apa yang terjadi ...
degup-degup rasaku mendenyut di antara kesah hati
merenung lebih dalam
mencoba tenggelam, untuk lebih faham
ya, akhirnya kutemukan satu kata
kutuliskan itu sehabis torehan rindu yang terjeda
K-A-M-U
kueja sembari kulajurkan dengan ujung pena
'rindu kamu' adalah yang terbaca setelahnya
CUKUP MENGAGUMIMU
tersengal, hembus nafas dalam degub kelu
ya ini kataku ...
antara melangkah dan payah
antara menyentuh dan jauh
aku payah untuk sekedar berucap kata
aku jauh untuk mencoba bertatap muka
senja ini ...
hanya mampu kulamunkan di antara rinai gerimis menitis
adalah itu wajahmu yang nampak tersenyum manis
apakah itu untukku
apakah ini hanya inginku
entahlah ...
satu caraku mungkin cukup mengagumimu
memandang indah semua yang terpancar darimu
ya ini kataku ...
antara melangkah dan payah
antara menyentuh dan jauh
aku payah untuk sekedar berucap kata
aku jauh untuk mencoba bertatap muka
senja ini ...
hanya mampu kulamunkan di antara rinai gerimis menitis
adalah itu wajahmu yang nampak tersenyum manis
apakah itu untukku
apakah ini hanya inginku
entahlah ...
satu caraku mungkin cukup mengagumimu
memandang indah semua yang terpancar darimu
PEMBACAANKU TENTANGMU (rindu)
ketika aku tak menemukan apapun untuk kubaca,
kupandang potretmu yang manis
kusentuh lengkung bibirmu yang tipis
disana,
ada seribu pembacaan yang takkan pernah habis kuulas
ada sejuta pengertian rasa yang seperti tiada ukuran batas
di teduh matamu
di lesung pipimu
kutemukan cinta,
kutemukan keteduhan dengan nuansa yang berbeda
bukan sekelebatan hilang lalu,
nyatanya kau selalu terngiang dalam wujud rindu
duh, bagaimana aku bisa bertahan
lakuku adalah hasil lakumu meski tak kau hiraukan
kataku adalah katamu meski jauh untuk tersampaikan
ya, aku cukup mengerti
hadirku mungkin sebatas kata fajar menemui pagi
hilang seri tatkala suguhan cahaya mulai mendaki
tak apalah ...
setidaknya aku pernah dianggap ada,
walau itu sekejap mata
dan ini yang terhatur adalah pembacaanku tentangmu
tentang senyuman itu yang telah jauh merenggut hatiku atas nama rindu
kupandang potretmu yang manis
kusentuh lengkung bibirmu yang tipis
disana,
ada seribu pembacaan yang takkan pernah habis kuulas
ada sejuta pengertian rasa yang seperti tiada ukuran batas
di teduh matamu
di lesung pipimu
kutemukan cinta,
kutemukan keteduhan dengan nuansa yang berbeda
bukan sekelebatan hilang lalu,
nyatanya kau selalu terngiang dalam wujud rindu
duh, bagaimana aku bisa bertahan
lakuku adalah hasil lakumu meski tak kau hiraukan
kataku adalah katamu meski jauh untuk tersampaikan
ya, aku cukup mengerti
hadirku mungkin sebatas kata fajar menemui pagi
hilang seri tatkala suguhan cahaya mulai mendaki
tak apalah ...
setidaknya aku pernah dianggap ada,
walau itu sekejap mata
dan ini yang terhatur adalah pembacaanku tentangmu
tentang senyuman itu yang telah jauh merenggut hatiku atas nama rindu
KAU YA KAU (aku cinta tanpa tanya)
Kebisuan ini mengendap dalam kataku
Kelu di bibir, terhatur dalam aksara kalbu
Ya, ini tentangmu yang di sana
Apakah serupa?
Apakah rasamu sama?
Ahh, aku tak ingin terlalu berharap lebih
Biar kucukupkan rasaku sebatas mencintai
tanpa letih
Entah nanti,
Entah bagaimana masanya memberiku jalan mendekati
Akan kupersunting kau tanpa sebuah alasan
Menyandingkan rasa atas nama ketulusan
Ya, biarkan waktu yang akan menjawab
Inikah harap ataukah langkah awal untuk mendekap
Kebenarannya,
Aku cinta dalam kagumku dengan seutas rupa tak bertanda tanya
Dan itulah kau orangnya ....
AKU RINDU
dahulu wajah ini sendu,
melukis rindu dalam tatapan sayu bernama kamu
semua waktu adalah caraku mengingatmu
pagi terngiang
siang terbayang
malam terkenang
tak ada kesempatanku untuk menghapusnya dalam kehilangan
sebuah bisikan
sebuah rajukan
manja
menggoda
bercanda,
itu semua yang membuatku takkan pernah terlupa
benar dahulu wajahku ini sendu saat kepergianmu,
namun kiranya kini juga masih sama tatapan itu masih tentangmu
dalam sudut mata ini jelas mengguratkan rindu
hingga berbuah itu butiran bening yang meluruh beku
aku rindu,
dalam isak tangisku benar, memang aku rindu
melukis rindu dalam tatapan sayu bernama kamu
semua waktu adalah caraku mengingatmu
pagi terngiang
siang terbayang
malam terkenang
tak ada kesempatanku untuk menghapusnya dalam kehilangan
sebuah bisikan
sebuah rajukan
manja
menggoda
bercanda,
itu semua yang membuatku takkan pernah terlupa
benar dahulu wajahku ini sendu saat kepergianmu,
namun kiranya kini juga masih sama tatapan itu masih tentangmu
dalam sudut mata ini jelas mengguratkan rindu
hingga berbuah itu butiran bening yang meluruh beku
aku rindu,
dalam isak tangisku benar, memang aku rindu
INIKAH CINTA?
Entah untuk ke berapa kalinya aku di sini. Duduk terpaku, menikmati panorama jingga dari guratan senja yang sebentar lagi menutup usia. Aku mengalihkan pandang ke sisi tempat dudukku. Keluhku berkata, "Ah, lagi-lagi meja kosong yang menemaniku. Tak ada secangkir kopi atau pun cemilan yang bisa kunikmati." Aku tertunduk, menahan butiran bening yang mencoba keluar dari sudut mataku.
Sejenak aku seperti hilang kesadaran. Terdiam dalam hening, terkatup bibir dalam bisu. Aku merasakan begitu penat untuk menjajaki waktu. "Ting ..." tiba-tiba nada itu menyetakku. Ya itu tanda pesan masuk ke hp-ku. Seketika kulihat. "Hmmm, ini dari dia," ucapku lirih dengan seulas senyum yang kembali tersimpul dari bibirku.
Aku kembali bersemangat. Terbayang hari esok akan bertemu seorang gadis dengan sorot mata teduhnya yang akhir-akhir ini mencuri perhatianku. Dia adalah Randa, gadis yang seminggu lalu kukenal dari sebuah pasar malam di alun-alun kota. Tak sabar kumenanti. Senja pun tak lagi menjadi arah pandanganku mengamati. Ada satu rasa yang berbeda. "Inikah cinta? Entahlah ...."
Sejenak aku seperti hilang kesadaran. Terdiam dalam hening, terkatup bibir dalam bisu. Aku merasakan begitu penat untuk menjajaki waktu. "Ting ..." tiba-tiba nada itu menyetakku. Ya itu tanda pesan masuk ke hp-ku. Seketika kulihat. "Hmmm, ini dari dia," ucapku lirih dengan seulas senyum yang kembali tersimpul dari bibirku.
Aku kembali bersemangat. Terbayang hari esok akan bertemu seorang gadis dengan sorot mata teduhnya yang akhir-akhir ini mencuri perhatianku. Dia adalah Randa, gadis yang seminggu lalu kukenal dari sebuah pasar malam di alun-alun kota. Tak sabar kumenanti. Senja pun tak lagi menjadi arah pandanganku mengamati. Ada satu rasa yang berbeda. "Inikah cinta? Entahlah ...."
Senin, 05 Januari 2015
MENANGISLAH
Di setiap ujung senyum itu ada air mata. Kupastikan, meski topeng nurani
kau serupakan dengan tawa. Kutahu itu! Kedukaanmu terlihat jelas di sudut
bening matamu.
“Kenapa harus berbohong? Bukankah kita telah berjanji atas nama rasa. Berbagi
tawa, berbagi pula air mata. Adalah itu yang kita tautkan sewaktu simpulan
jemari melambangkan ikat hati.”
Ya mungkin, sebatas keberadaanku kini tak berarti bagimu. Hanya cerita dari
masa lalu, hadirku kaukuap bagai hempasan debu dalam semilir bayu. Hilang lalu.
Biarlah aku menjadi yang terlupa, namun tetap saja tak mampu kutinggalkan
kau yang terjatuh dalam kubangan duka. Semua karena rasaku masih sama, untukmu
sejak awal dulu kita bersua.
Aku tak memintamu untuk tersenyum, tak pula memaksamu untuk tertawa. Menangislah
dengan kejujuran! Bahuku siap menanggung bebanmu sampai kapanpun jua.
Ingatlah kataku dulu! Berbagi itu lebih indah meski dalam perjamuan derita.
Karena itulah arti kita satu dalam segala nuansa.
PEMBUKUAN RINDU
kubaca lagi dan kurenung masa yang
telah berganti
kuselak lembar mimpi kiranya tercatat itu dalam risalah hati
penulisan sayogyanya tak cukup paham untuk kubaca
jua pembacaan terlalu rancu di setiap bahasa yang tertera
kuselak lembar mimpi kiranya tercatat itu dalam risalah hati
penulisan sayogyanya tak cukup paham untuk kubaca
jua pembacaan terlalu rancu di setiap bahasa yang tertera
misteri ...
sebuah kata yang menasbihkan itu layaknya jejak-jejak pencuri
datang dan pergi sejatinya telah mengena jauh dalam lubuk hati
rindu ...
mungkin itu yang jadi alasan kenang masa lalu
kembali mengarungi lamunan hingga lambung angan membumbung semu
salah ataukah tingkah yang terlalu berserah
keinginanku biarlah sejenak dapat kujamah
menelisik dalam rindu pada sebuah harian rasa yang kubaca
adalah kisah hati yang tertera nyata dalam relung jiwa
sampai kapan dan sampai masanya tak perlu lagi dipertanyakan
rindu ini akan selalu terjaga seiring cinta yang tetap kurasakan
berteman sebuah pembukuan cerita kasih ini kucoba ulas kembali
mengenang masa-masa dulu yang sudah jauh terlewat sampai kini
nyatanya cinta tetap saja mendiami hati
mungkin itu yang jadi alasan kenang masa lalu
kembali mengarungi lamunan hingga lambung angan membumbung semu
salah ataukah tingkah yang terlalu berserah
keinginanku biarlah sejenak dapat kujamah
menelisik dalam rindu pada sebuah harian rasa yang kubaca
adalah kisah hati yang tertera nyata dalam relung jiwa
sampai kapan dan sampai masanya tak perlu lagi dipertanyakan
rindu ini akan selalu terjaga seiring cinta yang tetap kurasakan
berteman sebuah pembukuan cerita kasih ini kucoba ulas kembali
mengenang masa-masa dulu yang sudah jauh terlewat sampai kini
nyatanya cinta tetap saja mendiami hati
SALAH RASA
hingga kita bertemu dalam puisi
bercerita tentang hujan yang semula sepi
jemari-jemari saling bertutur menorehkan kisah hati
ada cinta di sana lewat sebuah kata pena merajut pintalan mimpi
hmmm,
tak kusangka semua tak lebih dari menjejak imajinasi
seperti itu terlelap dan kembali terbangun lagi
aku salah mengira
aku salah menerka
tak ada rasa
tak ada kesungguhan jiwa
semua hanya kata-kata,
hiasan noda pena dengan rajukan berbaur majas pesona
ya sudahlah, biar kutimbun lagi
terkubur rasa ini tak untuk terjalin dalam titian hati
aku mengerti,
katamu tak lebih dari suguhan mimpi menimang sunyi
bercerita tentang hujan yang semula sepi
jemari-jemari saling bertutur menorehkan kisah hati
ada cinta di sana lewat sebuah kata pena merajut pintalan mimpi
hmmm,
tak kusangka semua tak lebih dari menjejak imajinasi
seperti itu terlelap dan kembali terbangun lagi
aku salah mengira
aku salah menerka
tak ada rasa
tak ada kesungguhan jiwa
semua hanya kata-kata,
hiasan noda pena dengan rajukan berbaur majas pesona
ya sudahlah, biar kutimbun lagi
terkubur rasa ini tak untuk terjalin dalam titian hati
aku mengerti,
katamu tak lebih dari suguhan mimpi menimang sunyi
INI CINTA BUKAN KE-EGOIS-AN RASA
Adalah bagaimana menanti tak membosankan untuk kunikmati. Tersuguh itu, kerinduan layaknya seduhan kopi dengan aroma candu meski pahit di bibir. Waktu tak pernah berlalu dengan sia-sia. Selalu ada namamu di sana meski sekelabatan maya belum untuk jadi nyata.
"Dek, Kakak suka padamu. Selayaknya rindu ini ada untuk berpadu, mencintaimu memberi semangat menatap hari-hari baru," ungkapku meski sedikit terbata. Benar semua itu adanya, meski mungkin terlalu tergesa-gesa. Bukankah cinta yang memilih jalannya sendiri untuk bermuara. Seperti itu aku menemukanmu menjadi labuhan rasaku dalam rindu.
"Ah kau, Kak. Jangan membuatku tersipu! Lebih dari itu juga karena apa Kakak bisa mencintaiku secepat ini?" tanyanmu memburu, mencari artian antara rayu dan ketulusan kalbu. Memang kiranya terlalu tergesa-gesa aku mengungkap rasa. Mencurahkan benak jiwa dengan seuntaian kata yang bernama cinta. Padahal masih sangat muda waktu untuk saling kenal. Itu pun lewat dunia maya yang sering kali penuh dengan tipu daya.
"Dek, Kakak tak membutuhkan alasan untuk mencintaimu. Karena bagi Kakak alasan hanya akan menodai cinta itu sendiri. Semisal ketertarikan pada pada kuncup mekar mawar merekah, dianya akan terlupakan tatkala layu dan kering menjatuhkan kelopaknya. Kakak nggak ingin seperti itu, Dek. Kakak ingin Mencintaimu serupaan keterikatan pada wangi melati yang akan terus abadi meski kering dia dalam lapuk masa musim berganti," jawabku dengan keyakinan diri, bahwa cinta tak membutuhkan apapun untuk menjadi alasan. Buta dia dengan kemisteriannya tak terjelaskan kata-kata.
"Tapi Kak, setidaknya kan ada sesuatu yang menjadi landasan bagaimana Kakak bisa mencintai Adek. Setahu Adek meski cinta tak membutuhkan alasan, namun setidaknya ada sebuah penjelasan kenapa cinta itu bisa tumbuh dalam jiwa," katamu mempertanyakan cintaku yang mungkin terlihat terlalu tergesa-gesa.
Hmmm, aku bergumam. Mencoba menyelaraskan kata dan rasa. "Dek, Kakak mencintaimu tak lepas dari kedamaian yang Kakak rasa, juga sebuah kenyamanan yang Kakak dapatkan dari Adek. Senyuman, canda tawa, semua itu bagaikan basuhan kesejukan selepas penat fikir sepanjang hari. Dan kamulah orangnya Dek, yang memberikan itu pada Kakak," begitulah jawabku dengan sebenar-benarnya rasa dari hati sejak semula itu ada.
"Dan satu lagi Dek, Kakak nggak menuntut jawaban apalagi timbal balik atas perasaan ini. Kakak sudah cukup lega setelah mengutarakan perasaan cinta Kakak kepada Adek. Entah bagaimana nantinya adek menolak atau menerima, Kakak akan berusaha bijaksana untuk menyikapinya. Bilamana Kakak memang harus terhenti dikata mencintai tanpa dicintai, tak jadi itu kekecewaan apalagi kebencian. karna pada dasarnya cinta dalah ketulusan dan pengorbanan. Ketulusan untuk memberi kebahagiaan meski tidak dengan kebersamaan. Pengorbanan dengan mengubur keegoisan diri ke lubuk hati terdalam."
**
Mungkin terdengar munafik bilamana mencintai namun tak berharap dicintai. Namun alangkah lebih munafik lagi bilamana mencintai sesesorang dengan menjanjikan beribu kebahagiaan tanpa mengerti bahwa cinta tak sekedar saling memiliki. Kerelaan lebih berharga dengan seulas senyuman meski itu jauh dalam sentuhan. Seperti itu cinta yang akan kujaga hingga akhirnya ujung hayat merapuhkan raga. Kebahagiaanku adalah melihat orang-orang yang aku cintai bahagia.
"Dek, Kakak suka padamu. Selayaknya rindu ini ada untuk berpadu, mencintaimu memberi semangat menatap hari-hari baru," ungkapku meski sedikit terbata. Benar semua itu adanya, meski mungkin terlalu tergesa-gesa. Bukankah cinta yang memilih jalannya sendiri untuk bermuara. Seperti itu aku menemukanmu menjadi labuhan rasaku dalam rindu.
"Ah kau, Kak. Jangan membuatku tersipu! Lebih dari itu juga karena apa Kakak bisa mencintaiku secepat ini?" tanyanmu memburu, mencari artian antara rayu dan ketulusan kalbu. Memang kiranya terlalu tergesa-gesa aku mengungkap rasa. Mencurahkan benak jiwa dengan seuntaian kata yang bernama cinta. Padahal masih sangat muda waktu untuk saling kenal. Itu pun lewat dunia maya yang sering kali penuh dengan tipu daya.
"Dek, Kakak tak membutuhkan alasan untuk mencintaimu. Karena bagi Kakak alasan hanya akan menodai cinta itu sendiri. Semisal ketertarikan pada pada kuncup mekar mawar merekah, dianya akan terlupakan tatkala layu dan kering menjatuhkan kelopaknya. Kakak nggak ingin seperti itu, Dek. Kakak ingin Mencintaimu serupaan keterikatan pada wangi melati yang akan terus abadi meski kering dia dalam lapuk masa musim berganti," jawabku dengan keyakinan diri, bahwa cinta tak membutuhkan apapun untuk menjadi alasan. Buta dia dengan kemisteriannya tak terjelaskan kata-kata.
"Tapi Kak, setidaknya kan ada sesuatu yang menjadi landasan bagaimana Kakak bisa mencintai Adek. Setahu Adek meski cinta tak membutuhkan alasan, namun setidaknya ada sebuah penjelasan kenapa cinta itu bisa tumbuh dalam jiwa," katamu mempertanyakan cintaku yang mungkin terlihat terlalu tergesa-gesa.
Hmmm, aku bergumam. Mencoba menyelaraskan kata dan rasa. "Dek, Kakak mencintaimu tak lepas dari kedamaian yang Kakak rasa, juga sebuah kenyamanan yang Kakak dapatkan dari Adek. Senyuman, canda tawa, semua itu bagaikan basuhan kesejukan selepas penat fikir sepanjang hari. Dan kamulah orangnya Dek, yang memberikan itu pada Kakak," begitulah jawabku dengan sebenar-benarnya rasa dari hati sejak semula itu ada.
"Dan satu lagi Dek, Kakak nggak menuntut jawaban apalagi timbal balik atas perasaan ini. Kakak sudah cukup lega setelah mengutarakan perasaan cinta Kakak kepada Adek. Entah bagaimana nantinya adek menolak atau menerima, Kakak akan berusaha bijaksana untuk menyikapinya. Bilamana Kakak memang harus terhenti dikata mencintai tanpa dicintai, tak jadi itu kekecewaan apalagi kebencian. karna pada dasarnya cinta dalah ketulusan dan pengorbanan. Ketulusan untuk memberi kebahagiaan meski tidak dengan kebersamaan. Pengorbanan dengan mengubur keegoisan diri ke lubuk hati terdalam."
**
Mungkin terdengar munafik bilamana mencintai namun tak berharap dicintai. Namun alangkah lebih munafik lagi bilamana mencintai sesesorang dengan menjanjikan beribu kebahagiaan tanpa mengerti bahwa cinta tak sekedar saling memiliki. Kerelaan lebih berharga dengan seulas senyuman meski itu jauh dalam sentuhan. Seperti itu cinta yang akan kujaga hingga akhirnya ujung hayat merapuhkan raga. Kebahagiaanku adalah melihat orang-orang yang aku cintai bahagia.
Minggu, 04 Januari 2015
AKU
seperti langit yang menyembunyikan gelapnya pada rintihan hujan
aku ... adalah itu yang mencoba membiaskan rasa di balik senyuman
tawa kuhatur
canda kututur
jauh itu yang ada
luka menganga di jiwa
ya, aku begitu pengecut untuk mengungkap kebenaran
menimbun segala gejolak perasaan hingga membukit keresahan
sepi kujadikan kaitan gemuruh bercerita
sunyi kuhapuskan dengan tarian kata-kata
padahal jelas kurasa
hatiku begitu renta
salahkah?
bila kumenanggungnya sendiri
menerima segala dakwaan hina untuk kumiliki
karna betapapun tiada dayaku membalik sangka
terlalu kelu nadaku bicara membuka rahasia
ah, biar saja
memang sepertinya aku ditasbihkan menjadi yang tersisih
renta untuk memilih
ringkih untuk berharap lebih
kebahagiaan itu layaknya sebuah angan jauh
masih butuh banyak waktu untuk kutempuh
AKU DAN KAMU
lalu kita sama-sama membuka pintu
bertukar sapa dengan jenjang imaji bernama rayu
aku dan kamu
selepas itu, tautan membenihkan rindu
waktu-waktu menjadi bujuk sendu
malam-malam menjadi pemagut kelu
aku dan kamu
hingga perhentian itu menemukan temu
ujung di mana persinggahan tak lagi semu
berobat rindu untuk beradu
suatu masanya memberi langkah maju
aku dan kamu
ya, tentang aku dan kamu
berawal dari rayu,
berakhir pada pernyataan rindu
aku padamu ....
bertukar sapa dengan jenjang imaji bernama rayu
aku dan kamu
selepas itu, tautan membenihkan rindu
waktu-waktu menjadi bujuk sendu
malam-malam menjadi pemagut kelu
aku dan kamu
hingga perhentian itu menemukan temu
ujung di mana persinggahan tak lagi semu
berobat rindu untuk beradu
suatu masanya memberi langkah maju
aku dan kamu
ya, tentang aku dan kamu
berawal dari rayu,
berakhir pada pernyataan rindu
aku padamu ....
SENJA KUTANYA
Senja kutemukan usang dengan gerimis yang menghiba. Kelabu itu nampak menjadi tirai cakrawala menutupi sinaran jingga untuk bercahaya. Aku di sini, duduk terpaku menopang dagu. memandang jauh itu selaksa abu-abu dari titian surya hilang laku. "Ah, apa ini rasaku menghentak kedalaman kalbu?" ucapku dalam hati sesaat kerinduan itu melintas dengan peyerupaan nuansa yang hampir sama.
**
Sore itu. Aku menengadah bisu menantang lajur-lajur waktu di hamparan padang rumput berlatar sasana abu-abu. Kurentangkan tangan, meresapi lebih dalam artian rasa dengan sebuah tanya yang membayang. "Benarkah ini cinta?" tanyaku merajuk rasa dengan degup hati yang sekian waktu berirama rindu."Pada dia separas ayu dengan senyuman nan teduh di tipis bibirnya memerah jambu," ungkapku membayangkan segurat wajah yang telah mencuri perhatianku.
"Duh senja, beri aku pertanda? Pertanda apa dan bagaimana aku harus bertingkah, ataukah lain risalah menuntutku memilah."
Lama kuterdiam, berfikir lebih dalam. Gelayut resah itu terus-terus saja menjamah, tak memberi kesempatan damai hatiku merebah. Tiba-tiba, kudapati rinai-rinai mencerca, ternyata tangis langit menurunkan katanya. Hujan melanda, sedang aku tak berfikir untuk menepikan raga.
"Aahh, apakah ini pertanda? Termaksud dari nukilan nuansa berubah rupa."
Aku masih mencoba mencari isyarat yang tertulis di antara rintik yang menitis. Menyelam pandanganku dalam genangan rindu yang menghentak denyut nadiku. Senja akhirnya pun mulai menapaki ujung renta, teriring rinai hujan yang masih setia menyapa. Tanyaku belum terjawab, kesah hatiku seperti masih ingin menetap.
Sampai kini di nuansa yang serupa. Senja dengan kilahnya mengejekku yang tergugu memandang hujan. Menikmati aroma kerinduan dalam tanya rasa sebenar-benarnya tentang cinta.
"Ya dia, apakah rupa yang selama ini kupinta dalam rajutan asa? Kan menggenapi separuh hidupku dengan kebahagiaan atas nama cinta."
**
Sore itu. Aku menengadah bisu menantang lajur-lajur waktu di hamparan padang rumput berlatar sasana abu-abu. Kurentangkan tangan, meresapi lebih dalam artian rasa dengan sebuah tanya yang membayang. "Benarkah ini cinta?" tanyaku merajuk rasa dengan degup hati yang sekian waktu berirama rindu."Pada dia separas ayu dengan senyuman nan teduh di tipis bibirnya memerah jambu," ungkapku membayangkan segurat wajah yang telah mencuri perhatianku.
"Duh senja, beri aku pertanda? Pertanda apa dan bagaimana aku harus bertingkah, ataukah lain risalah menuntutku memilah."
Lama kuterdiam, berfikir lebih dalam. Gelayut resah itu terus-terus saja menjamah, tak memberi kesempatan damai hatiku merebah. Tiba-tiba, kudapati rinai-rinai mencerca, ternyata tangis langit menurunkan katanya. Hujan melanda, sedang aku tak berfikir untuk menepikan raga.
"Aahh, apakah ini pertanda? Termaksud dari nukilan nuansa berubah rupa."
Aku masih mencoba mencari isyarat yang tertulis di antara rintik yang menitis. Menyelam pandanganku dalam genangan rindu yang menghentak denyut nadiku. Senja akhirnya pun mulai menapaki ujung renta, teriring rinai hujan yang masih setia menyapa. Tanyaku belum terjawab, kesah hatiku seperti masih ingin menetap.
Sampai kini di nuansa yang serupa. Senja dengan kilahnya mengejekku yang tergugu memandang hujan. Menikmati aroma kerinduan dalam tanya rasa sebenar-benarnya tentang cinta.
"Ya dia, apakah rupa yang selama ini kupinta dalam rajutan asa? Kan menggenapi separuh hidupku dengan kebahagiaan atas nama cinta."
MENEMUI JAWAB
barangkali yang kusanggahkan selebihnya adalah mimpi
terlalu dalam mengukir imajinasi layaknya prasasti hati
derap, derap kutangisi ...
setiap jengkal kujejaki
aku baru mengerti,
yang kini ada sekurangnya tersusun dari timbunan masa lampau
membukit itu dalam lajuran pengalaman dalam seguris kemilau
ahhh, semua akhirnya kumengerti
bahwasanya hidup telah teratur dalam nisbah suci
bagaimana meniti selaras itu yang terpetik nanti
seumpama semian yang tersirami, berbunga dia takkan ingkar janji
ya, mungkin aku dulu salah menilai,
tak cukup cerdas pula untuk memaknai
namun lain rupa saat kepergian itu memberiku pertanda
tak ada keabadian yang nyata dalam kefanaan berkultur dunia
persinggahan hanya batu lompatan
perjalanan selalu ada akhir tujuan
itu ... tak teringkari,
tak pula mampu digugat lagi
kepastiannya pasti
kenyataannya sejati
terlalu dalam mengukir imajinasi layaknya prasasti hati
derap, derap kutangisi ...
setiap jengkal kujejaki
aku baru mengerti,
yang kini ada sekurangnya tersusun dari timbunan masa lampau
membukit itu dalam lajuran pengalaman dalam seguris kemilau
ahhh, semua akhirnya kumengerti
bahwasanya hidup telah teratur dalam nisbah suci
bagaimana meniti selaras itu yang terpetik nanti
seumpama semian yang tersirami, berbunga dia takkan ingkar janji
ya, mungkin aku dulu salah menilai,
tak cukup cerdas pula untuk memaknai
namun lain rupa saat kepergian itu memberiku pertanda
tak ada keabadian yang nyata dalam kefanaan berkultur dunia
persinggahan hanya batu lompatan
perjalanan selalu ada akhir tujuan
itu ... tak teringkari,
tak pula mampu digugat lagi
kepastiannya pasti
kenyataannya sejati
MASIH MERINDUMU
Hingga pagi ini rasanya, hatiku
masih tertinggal di tempat itu. Sebuah pusara dengan taburan bunga kopi berhias
guguran kamboja merah jambu. Seperti enggan itu berpulang, seberti tak mau
lamunan itu hilang.
**
“Qe, lihatlah ini! Aku membawa bunga kopi kesukaanmu. Bunga yang harumnya melebihi melati pun semerbaknya mengalahkan kuntuman mawar yang berseri-seri.” Aku duduk bersimpuh menggenggam tanah yang masih basah sehabis hujan semalam.
“Selamat ulang tahun Qe,” ucapku dengan seulas senyum yang kucoba persembahkan sesuai janjiku dulu. Janji tak ada lagi air mata, janji untuk tersenyum atas sebuah kepergian yang kutahu untuk selamanya.
Tak seberapa lama hujan pun turun seakan memberi kesempatan untukku berkilah dalam tangisan.
“Bener Qe aku gak menangis, ini cuma tetasan air hujan,” sanggahku atas tetes air mata yang coba kusembunyikan di balik rinai kebasahan hujan yang menguyurku. Namun, itu tak cukup bertahan lama. Aku terisak, tangis pun pecah.
Kukira setelah 6 tahun terlewat semua akan berubah. Ternyata, aku masih jua menangis saat merindumu. Apa lagi hari ini, saat kuberkunjung kepusaramu yang semula udah kupersiapkan senyuman sedari awal aku melangkah. Tiba-tiba semua sirna, sesaat kutaburkan bunga kopi sebagai hadiahku untukmu.
Senja ini adalah senja yang membuatku benar-benar kesepian. Aku duduk sendiri disini, bercengkrama dengan pusaramu yang bisu. Gigil, bukan itu yang kurasa karna guyuran hujan. Namun, kerinduan yang lebih pekat mendalam menghujani hatiku.
“Qe, kuharap kau tersenyum di sana meski aku menangis di sini! Karena itu adalah kebahagiaan terbesarku. Senyummu itu bagaikan pematik dayaku yang luluh, membangkitkan kembali asaku untuk terus melaju. Ya, mungkin aku telah mengingkari janjiku untuk selalu tersenyum untukmu, tapi setidaknya aku tak putus asa menjalani hidup. Aku yakin, seperti mentari yang tak pernah ingkar janji kembali di pagi hari selepas malam membawanya pergi. Kebahagiaan itu akan kudapati meski berbeda wujud yang pernah aku harapi.”
“Qe, damailah di sana! Sedamai kedamaian waktu memberi jarak tunggu kau dan aku dalam jenjang rindu yang mungkin tiada ujung temu.”
**
“Qe, lihatlah ini! Aku membawa bunga kopi kesukaanmu. Bunga yang harumnya melebihi melati pun semerbaknya mengalahkan kuntuman mawar yang berseri-seri.” Aku duduk bersimpuh menggenggam tanah yang masih basah sehabis hujan semalam.
“Selamat ulang tahun Qe,” ucapku dengan seulas senyum yang kucoba persembahkan sesuai janjiku dulu. Janji tak ada lagi air mata, janji untuk tersenyum atas sebuah kepergian yang kutahu untuk selamanya.
Tak seberapa lama hujan pun turun seakan memberi kesempatan untukku berkilah dalam tangisan.
“Bener Qe aku gak menangis, ini cuma tetasan air hujan,” sanggahku atas tetes air mata yang coba kusembunyikan di balik rinai kebasahan hujan yang menguyurku. Namun, itu tak cukup bertahan lama. Aku terisak, tangis pun pecah.
Kukira setelah 6 tahun terlewat semua akan berubah. Ternyata, aku masih jua menangis saat merindumu. Apa lagi hari ini, saat kuberkunjung kepusaramu yang semula udah kupersiapkan senyuman sedari awal aku melangkah. Tiba-tiba semua sirna, sesaat kutaburkan bunga kopi sebagai hadiahku untukmu.
Senja ini adalah senja yang membuatku benar-benar kesepian. Aku duduk sendiri disini, bercengkrama dengan pusaramu yang bisu. Gigil, bukan itu yang kurasa karna guyuran hujan. Namun, kerinduan yang lebih pekat mendalam menghujani hatiku.
“Qe, kuharap kau tersenyum di sana meski aku menangis di sini! Karena itu adalah kebahagiaan terbesarku. Senyummu itu bagaikan pematik dayaku yang luluh, membangkitkan kembali asaku untuk terus melaju. Ya, mungkin aku telah mengingkari janjiku untuk selalu tersenyum untukmu, tapi setidaknya aku tak putus asa menjalani hidup. Aku yakin, seperti mentari yang tak pernah ingkar janji kembali di pagi hari selepas malam membawanya pergi. Kebahagiaan itu akan kudapati meski berbeda wujud yang pernah aku harapi.”
“Qe, damailah di sana! Sedamai kedamaian waktu memberi jarak tunggu kau dan aku dalam jenjang rindu yang mungkin tiada ujung temu.”
RINDU CINTA YANG KUMAU
berkabut kelabu dalam temaram nuansa merujuk abu-abu
sebilah menjadi seukuran waktu
tertatih setiap jengkal mendaki
adalah itu jenjang masa tunggu
tempatku berdiam diri melamun sepi
aku ...
satu diantara pengabdi rasa pelarung puja
terus-terus saja memahama cinta dengan sesederhana kata yang ku punya
namun kiranya jauh itu masihlah rindu yang membelenggu
menguak kekah hati dalam seruak pilu nan menggebu
akunya begitu ...
seperti itu jua aku merasa kini berada
berbeda dari tempat semula rindu yang tak sama
serupa seulas sunyi memekarkan kembali bunga-bunga mimpi
cinta itu nampaknya kata mati yang ingin kumiliki
biar deru berdebu
biar kias mengelabu
rindu hujungnya cinta yang ku mau
Sabtu, 03 Januari 2015
MAAFKAN AKU (aku kembali menangis)
“Tanggal 3 Januari Adek kehilangan kata, yang teringat sama Adek hanya
kenangan bunga kopi untuk sang kekasih,” ucapnya melihat keadaanku malam ini.
**
Ya, menyedihkan mungkin. Semua diksi seakan meninggalkanku. Semua inspirasi
seakan tak mau kembali berteman denganku. Serupa malam ini, aku hanya mampu
menjejak sepi, memandang lembaran kosong yang belum jua mampu kunodai.
“Aaaaaah ... kenapa aku seperti ini?” keluhku dalam hati.
Bunga kopi telah kuhaturkan, namun sesaat itu pula hilang kataku untuk
sekedar mengulas kerinduan. Terlalu cepat air mataku mengalir, padahal dulu
kujanjikan senyumman di pembaringan terakhir.
Ya, aku lagi-lagi telah mengingkari janji. Sesak di dadaku, pilu di hatiku
tak mampu kuperetahankan dalam bisu. Akhirnya air mata itu pecah seiring tangis
yang membuncah. Aku rebah, membasah di guyuran hujan yang menerjah.
Pusaramu menjadi kesaksiaannya. Aku masih rindu. Rindu seulas senyummu yang
itu, rindu akan tingkahmu yang selalu membuatku terteguk dalam bujuk rayu. Kau gadis
bunga kopiku, maafkan aku kembali mengingkarimu. Air mataku tak mampu kutahan,
senyumku telah hilang di batas kerinduan.
AKU INGIN KEMBALI BISA MENULIS
Hari ini aku seperti lupa bagaimana caranya menulis. Tak ada daya , tak ada hasrat. Semua nampak abu-abu tak mampu mengait penaku untuk kembali berlagu. Entahlah ... aku bingung, aku benar-benar bingung. Tak kudapati setajuk intuisi, tak kutemukan secercah inspirasi. Nampak buta kulihat, diam aku dalam jerat sepi yang mengikat.
Ada apa denganku? aku sendiri pun tak tahu. Yang kurasa hanya kehampaan, hampa untuk bicara, hampa untuk menulis kata-kata. Bahkan hingga malam kini telah menjelang, belum jua mampu ku lajurkan pena untuk kembali menulis. Tinta rasaku seperti habis, tak terulang lagi untuk memainkan katanya berharmonis.
Duh Yang Maha Kuasa, berikan aku sedikit kejernihan fikir untuk mengungkap segala pertanda. Tentang apa ini kesah hati, tentang keluhku malam ini. Hanya padaMU aku mampu mengadu, Uraikanlah, tunjukkanlah. Biar aku mampu mengerti, supaya aku bisa memahami.
Aku ingin kembali bisa menulis. sungguh aku ingin ...
Ada apa denganku? aku sendiri pun tak tahu. Yang kurasa hanya kehampaan, hampa untuk bicara, hampa untuk menulis kata-kata. Bahkan hingga malam kini telah menjelang, belum jua mampu ku lajurkan pena untuk kembali menulis. Tinta rasaku seperti habis, tak terulang lagi untuk memainkan katanya berharmonis.
Duh Yang Maha Kuasa, berikan aku sedikit kejernihan fikir untuk mengungkap segala pertanda. Tentang apa ini kesah hati, tentang keluhku malam ini. Hanya padaMU aku mampu mengadu, Uraikanlah, tunjukkanlah. Biar aku mampu mengerti, supaya aku bisa memahami.
Aku ingin kembali bisa menulis. sungguh aku ingin ...
Jumat, 02 Januari 2015
AKU LELAKI HUJAN
Ilalang telah bersaksi pada angin. Tersentuh gemulai dia dengan tarian
hujan yang tiba-tiba datang. Aku tetap disini. Disini menikmati guyuran hujan
yang kuanggap kekasih. Bercinta aku dengannya, menyetubuhi kebasahan tanpa
sedikitpun rasa kedinginan.
Ini yang aku inginkan. Hembus, hembus nafas tanpa sebuah kekangan. Liar menjelma
bebas, jalang aku menelanjangi semua
keinginan.
Hujan benar-benar merelaksasi. Tak terbatas ruang untuk mengusung segala
asumsi. Tertawa, menangis, berteriak, merajuk, semua dapat kuluahkan tak peduli dengan siapa dan sesiapa.
Ya, ini aku. Lelaki hujan yang tak hanya bisa diam. Aku menggugat. Hidupku adalah
aku, tak seorang pun berhak mengaturku. Kulepas segala beban rasa, kukupas
segala jelmaan kesah yang mendera.
Aku lelaki hujan tak hanya bisa diam. Ini sanggahku di antara genangan-genangan
yang semakin dalam. Menikmati rinai kebasahan. Sekujur tubuhku adalah gugatan. Semua kelahku adalah
pembelaan.
Aku lelaki hujan ...
LAMUNAN SIANG
kurindukan damai dalam lelap mimpi
tertidur pulas menikmati kedamaian hati
ya, itu inginku yang layaknya seperti terjaga suci
memekar semerbak bunga-bunga rasa hingga berputik melati
mendekap hangat sentuhan jiwa dari penjelmaan cinta
menyandingkan rasa pada seuntai selaksa pesona
datang tiba-tiba ...
hmmm ...
sejatinya aku memang sengaja terlena
tenggelam menyelami rindu akan seulas bayang
itukah kau wajah cinta dalam setiap lamunanku ada
kujemput hadirmu meski sepenggal lelap yang berpulang
tertidur pulas menikmati kedamaian hati
ya, itu inginku yang layaknya seperti terjaga suci
memekar semerbak bunga-bunga rasa hingga berputik melati
mendekap hangat sentuhan jiwa dari penjelmaan cinta
menyandingkan rasa pada seuntai selaksa pesona
datang tiba-tiba ...
hmmm ...
sejatinya aku memang sengaja terlena
tenggelam menyelami rindu akan seulas bayang
itukah kau wajah cinta dalam setiap lamunanku ada
kujemput hadirmu meski sepenggal lelap yang berpulang
ah, apa kukata
hilang
ternyata ini
masih siang
mimpi layaknya
menunggu waktu
menamai lelap
tatkala nanti malam menjamu
BERMALAM DENGAN PUISI (kamu)
aku bermalam di antara ruang imajiku dan terbangun menikmati sadarku
aku seperti asyik berjibaku antara gelap dan terang yang menggodaku
ahh, andai saja semalam kau ada di sisiku ...
ya,
semalam aku menulis potongan-potongan puisi di benakku yang rapuh
mencoba lebih tegar dari sunyimu
pun lebih tegar dari detak-detak sepi yang kukutip di spasi letih matamu
aku mungkin cukup terhina, yang hanya mampu menyusun acak rindu
membuka lipatan-lipatan kata di sela-sela jemariku berlagu
kosong ... nampak tak bermakna
padahal ada sejuta pinta disana yang selalu membuatku resah
benar,
sekali lagi aku mencoba membacamu lewat puisi
mengurapi diksi-diksi tak sekedar hantaran penyelaras rima sunyi
yang kuselak dari imajiku mewakilkan rasa
mimpi atau nyata sengaja kugubah sedemikian rupa
dan bermalam aku di antaranya
menikmati genangan-genagan bahasa hingga lelapku membawa mimpi
terang dan gelap seakan tiada lagi berarti
kepastiannya aku tersadar tatkala sentuhan pagi menyapa
adamu tiada,
adamu seperti ada
puisi dan mimpi,
itu caraku mengenalmu
biar rapuh, biar langkahku terjatuh
tiada jera kuulam kata menarikan jemariku dengan sela-sela diksi berirama rindu
kamu ...
aku seperti asyik berjibaku antara gelap dan terang yang menggodaku
ahh, andai saja semalam kau ada di sisiku ...
ya,
semalam aku menulis potongan-potongan puisi di benakku yang rapuh
mencoba lebih tegar dari sunyimu
pun lebih tegar dari detak-detak sepi yang kukutip di spasi letih matamu
aku mungkin cukup terhina, yang hanya mampu menyusun acak rindu
membuka lipatan-lipatan kata di sela-sela jemariku berlagu
kosong ... nampak tak bermakna
padahal ada sejuta pinta disana yang selalu membuatku resah
benar,
sekali lagi aku mencoba membacamu lewat puisi
mengurapi diksi-diksi tak sekedar hantaran penyelaras rima sunyi
yang kuselak dari imajiku mewakilkan rasa
mimpi atau nyata sengaja kugubah sedemikian rupa
dan bermalam aku di antaranya
menikmati genangan-genagan bahasa hingga lelapku membawa mimpi
terang dan gelap seakan tiada lagi berarti
kepastiannya aku tersadar tatkala sentuhan pagi menyapa
adamu tiada,
adamu seperti ada
puisi dan mimpi,
itu caraku mengenalmu
biar rapuh, biar langkahku terjatuh
tiada jera kuulam kata menarikan jemariku dengan sela-sela diksi berirama rindu
kamu ...
RINDU CANDU
kau penulis diantara pelarik aksara
kunanti hadirmu meski seberkas kata bebicara
adalah cinta ... mungkin ini yang kurasa dalam benak jiwa
meniru dengan penyerupaan bahasa aku punya rasa untuk di unggah
benar adanya kau yang di rindu senantiasa
meski tak tersentuh jua tak terjamah
biarlah sekedar sekelebat mimpi
tak kujadikan itu henti langkahku menghaturkan kata hati
untukmu ... duhai yang mengenapi rinduku dalam angan jiwa
wujudlah ... dengan seulas senyum nan membuatku terpesona
cinta ...
inikah cinta yang tersimpul rindu di setiap masa bicara
berlalu waktu menjadikan jarak tunggu, kian menghidupkan baraan rasa untuk segera berjumpa
dan seperti sebuah pembacaan buku, selalu ada akhir menutup bisu
seperti itu pula kebahagiaan ingin kurengkuh pada masanya itu, di hulu rindu yang berpadu denganmu
TUNGGULAH
bukan hamparan pasir dibasuh ombak
bukan celoteh camar setiap senja berubah serak
ini kataku di pesisir sepi yang sendu
menunggui badai membawa rinduku memadu
biar, biar aku pecah tercabik di ulum waktu
tak karang rubuh jadi rasaku
kokoh dia menggenapi masa
tak ingkar menjadi penunggu setia
ya, berapa lama akan menjadi cerita
sang penanti di tepian luka
berharap sandaran menyuguhkan cinta
namun kiranya itu hanya mimpi belaka
lalu, aku harus bagaimana
salakah ku ukir rasa di hamparan samudra
ataukah aku memang terlalu mengada ada
menanti kerontang sebagai pembuka
duuh, kedipan penyela
itu yang kutahu dari ingatanku lupa
melambai menghulurkan kasih
kurenang meski dayaku ringkih
ah, laju-laju kugenap langkah
mendayung rindu tak sepanjang galah
menunggu kutebis tak jadi risalah
menjemput, ungkapku untuk dijamah
tunggu, tunggu sebentar lagi
mungkin semusim atau setahun lagi
kupastikan aku datang menghampiri
berkalung doa darimu suci
berjanjilah kau akan menanti
menghijap unggu jadi selimut hati
biarkan mereka mencaci-caci
berpalinglah dengan sanggulan bidadari
bukan celoteh camar setiap senja berubah serak
ini kataku di pesisir sepi yang sendu
menunggui badai membawa rinduku memadu
biar, biar aku pecah tercabik di ulum waktu
tak karang rubuh jadi rasaku
kokoh dia menggenapi masa
tak ingkar menjadi penunggu setia
ya, berapa lama akan menjadi cerita
sang penanti di tepian luka
berharap sandaran menyuguhkan cinta
namun kiranya itu hanya mimpi belaka
lalu, aku harus bagaimana
salakah ku ukir rasa di hamparan samudra
ataukah aku memang terlalu mengada ada
menanti kerontang sebagai pembuka
duuh, kedipan penyela
itu yang kutahu dari ingatanku lupa
melambai menghulurkan kasih
kurenang meski dayaku ringkih
ah, laju-laju kugenap langkah
mendayung rindu tak sepanjang galah
menunggu kutebis tak jadi risalah
menjemput, ungkapku untuk dijamah
tunggu, tunggu sebentar lagi
mungkin semusim atau setahun lagi
kupastikan aku datang menghampiri
berkalung doa darimu suci
berjanjilah kau akan menanti
menghijap unggu jadi selimut hati
biarkan mereka mencaci-caci
berpalinglah dengan sanggulan bidadari
Kamis, 01 Januari 2015
HANYA ANGAN
"Nona penulis apa kau mengajakku kencan?"
Ya ampun ... gila, gila, gila. Ini seperti mimpi saja, katamu membuatku tak percaya. Kutampar pipiku beberapa kali, ternyata nyerinya tu di sini (nunjuk hati). Eits salah bukan nyeri, harusnya kubilang berdegup kenjang di hati. Duh ... serasa berbunga-bunga. Aku terpana dengan katamu tiba-tiba.
Dan sampailah pada saatnya jumpa. Bertemu muka saling melempar canda. Aku dan kamu terlena dalam bicara, hingga benih-benih rasa itu tumbuh kian menggelora. Simpul senyum tersungging, nada hening mengiring. Kuberanikan diri, kupupuk asa setinggi mimpi.
"Nona apakah kau suka padaku?"
Kau tersipu, aku pun malu. Selintas diam membisu, menunggu ruang untuk memberi waktu. Dan angggukan itu mengisyaratkan kata iya, menjawab tanyaku dengan pipi merona. Dunia seakan berubah tiba-tiba, milik berdua aku dan dirimu saja.
Berlanjut hingga esok dan lusa, cerita cinta dengan nuansanya yang indah. Cinta mencinta, Cinta dicinta. Sampai saatnya tiba lelapku terjaga. Ahh ... semua hanya mimpi saja, tatkala aku terjatuh dari pembaringan raga. Duh ... sakitnya tu di sini (nunjuk kepala), ternyata semua hanya mimpi. Kembali ke awal lagi, memang yang terasa sengaja tak kurasa. Mimpi di dalam mimpi aku tenggelam menikmati.
"Nona penulis apa kau mengajakku kencan?"
Ternyata itu semua hanya angan ....
Ya ampun ... gila, gila, gila. Ini seperti mimpi saja, katamu membuatku tak percaya. Kutampar pipiku beberapa kali, ternyata nyerinya tu di sini (nunjuk hati). Eits salah bukan nyeri, harusnya kubilang berdegup kenjang di hati. Duh ... serasa berbunga-bunga. Aku terpana dengan katamu tiba-tiba.
Dan sampailah pada saatnya jumpa. Bertemu muka saling melempar canda. Aku dan kamu terlena dalam bicara, hingga benih-benih rasa itu tumbuh kian menggelora. Simpul senyum tersungging, nada hening mengiring. Kuberanikan diri, kupupuk asa setinggi mimpi.
"Nona apakah kau suka padaku?"
Kau tersipu, aku pun malu. Selintas diam membisu, menunggu ruang untuk memberi waktu. Dan angggukan itu mengisyaratkan kata iya, menjawab tanyaku dengan pipi merona. Dunia seakan berubah tiba-tiba, milik berdua aku dan dirimu saja.
Berlanjut hingga esok dan lusa, cerita cinta dengan nuansanya yang indah. Cinta mencinta, Cinta dicinta. Sampai saatnya tiba lelapku terjaga. Ahh ... semua hanya mimpi saja, tatkala aku terjatuh dari pembaringan raga. Duh ... sakitnya tu di sini (nunjuk kepala), ternyata semua hanya mimpi. Kembali ke awal lagi, memang yang terasa sengaja tak kurasa. Mimpi di dalam mimpi aku tenggelam menikmati.
"Nona penulis apa kau mengajakku kencan?"
Ternyata itu semua hanya angan ....
MASIH MANIS KAN?
"Aku ingin melihatmu bahagia. Bukan tertawa, tersenyum apa lagi menangis. Dalam diam pun aku akan tahu tentang bahagiamu. Tak usah menulis, tak harus jadi puitis. Kelak jika kamu bahagia, aku pasti yang pertama memberimu hadiah manis," itu ucapmu sewaktu dulu yang kujawab dengan anggukkan kepala tanda mengerti.
**
" Hmmm, bagaimana aku bisa tak menulis. Aneh-aneh saja pintanya," fikirku dalam hati saat ini. Aku sudah terlalu terikat dengan kertas dan pena, Dia tahu itu. Bahkan hari-hariku seakan tak lengkap bilamana tak kugoreskan kata-kata meski sehuruf saja.
Ahh, sudahlah. Kini waktu jua telah berbeda. Aku dengan hidupku dan Dia juga dengan hidupnya. Mungkin hanya satu yang masih sama yaitu "rindu". Tapi tunggu dulu, rindu ini bukan rindu dengan keinginan untuk bisa memiliki, melainkan rindu ini tak lebih dari rasa kasih antara dua hati atas nama persahabatan sejati.
Ya, lama aku berfikir. Merenung lebih dalam, tentang semua yang terlewat untuk kujajaki. Semua adalah proses pendewasaan. Memberiku batasan antara angan dengan nyata, keberanian dengan kejujuran. Dan satu lagi cinta dan persahabatan.
Benar, semua kudapati selepas kepergiannya. Menyedihkan mungkin, namun setidaknya aku mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari pada cinta yang sekedar rasa untuk saling memiliki. Dia memang yang terindah, namun tak sejurus kupaksakan agar mampu kujamah.
Hehehe, ini aku menulis ya? Tukan aku tak bisa menuruti perintahnya. Ya sudah, semua telah terlanjur basah. sekarang aku mau menyelam sekalian dengan beberapa baris puisi, hihihi ...
selepas senja, malampun tiba
tutup jelaga berganti rupa
masih tentangnya, yang aku cinta
membubuhi rindu sepanjang masa
ah, hujan pun seakan ikut bernada
menarikan semilir berpesta cuaca
begitulah gemuruh merajuk nuansa
kukait indah serupa kidung pemuja
terus dan terus melagu
kulajur bahasa sepenuh rindu
untuknya, kuharap tahu
di sini aku selalu menunggu
bukan, bukan kata perayu
sejujurnya hanya untaian sendu
melurus malam menikmati waktu
melepas penat biar tak mengganggu
cukup ah, nggak usah panjang-panjang, entar aku melayang hingga lupa pulang. Beginilah aku saat ini selepas kepergiannya yang mungkin takkan pernah kembali. " Aku akan bahagia, ya aku akan bahagia seperti permintaanya." Tapi kalau masalah menulis aku nggakkan bisa meninggalkannya. "Maaf ya," kuharap hadiah manisnya tetap berlaku, meski aku tetap bertingkah puitis dan sedikit romantis.
**
" Hmmm, bagaimana aku bisa tak menulis. Aneh-aneh saja pintanya," fikirku dalam hati saat ini. Aku sudah terlalu terikat dengan kertas dan pena, Dia tahu itu. Bahkan hari-hariku seakan tak lengkap bilamana tak kugoreskan kata-kata meski sehuruf saja.
Ahh, sudahlah. Kini waktu jua telah berbeda. Aku dengan hidupku dan Dia juga dengan hidupnya. Mungkin hanya satu yang masih sama yaitu "rindu". Tapi tunggu dulu, rindu ini bukan rindu dengan keinginan untuk bisa memiliki, melainkan rindu ini tak lebih dari rasa kasih antara dua hati atas nama persahabatan sejati.
Ya, lama aku berfikir. Merenung lebih dalam, tentang semua yang terlewat untuk kujajaki. Semua adalah proses pendewasaan. Memberiku batasan antara angan dengan nyata, keberanian dengan kejujuran. Dan satu lagi cinta dan persahabatan.
Benar, semua kudapati selepas kepergiannya. Menyedihkan mungkin, namun setidaknya aku mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari pada cinta yang sekedar rasa untuk saling memiliki. Dia memang yang terindah, namun tak sejurus kupaksakan agar mampu kujamah.
Hehehe, ini aku menulis ya? Tukan aku tak bisa menuruti perintahnya. Ya sudah, semua telah terlanjur basah. sekarang aku mau menyelam sekalian dengan beberapa baris puisi, hihihi ...
selepas senja, malampun tiba
tutup jelaga berganti rupa
masih tentangnya, yang aku cinta
membubuhi rindu sepanjang masa
ah, hujan pun seakan ikut bernada
menarikan semilir berpesta cuaca
begitulah gemuruh merajuk nuansa
kukait indah serupa kidung pemuja
terus dan terus melagu
kulajur bahasa sepenuh rindu
untuknya, kuharap tahu
di sini aku selalu menunggu
bukan, bukan kata perayu
sejujurnya hanya untaian sendu
melurus malam menikmati waktu
melepas penat biar tak mengganggu
cukup ah, nggak usah panjang-panjang, entar aku melayang hingga lupa pulang. Beginilah aku saat ini selepas kepergiannya yang mungkin takkan pernah kembali. " Aku akan bahagia, ya aku akan bahagia seperti permintaanya." Tapi kalau masalah menulis aku nggakkan bisa meninggalkannya. "Maaf ya," kuharap hadiah manisnya tetap berlaku, meski aku tetap bertingkah puitis dan sedikit romantis.
AKU SUKA
aku suka caramu menatapku, seolah-olah saat itu hujan hanya untukku
sejuk terasa menyetubuhi gersang hatiku
menghalau kemarau panjang di gelisah rasaku dalam penantian rindu
aku suka caramu memandangku, seketika itu mengguyur basah jiwaku
teduh terasa membekap kerontang hatiku
menghapus sisaan dahaga dari masa lalu yang lama menjamur pilu
aku suka caramu melihatku, serentak memebekukanku dalam tutur bisu
damai terasa menyelimuti baraan hatiku
melepas kepenatan di titik tunggu tak lagi jadi pengelabu
ya, aku suka caramu mengasumsi rasa terhadapku
entah itu menggoda
entah itu gelayut manja
jelas yang kurasa adalah tuturan tingkah mesra,
melelapkanku kian dalam menyusup di antara nuansa syurga
ya, aku suka caramu menjatuhkanku dalam kubangan rindu
meski butuh masa
meski aral itu mendera
yang kutahu semua tak lebih cukup membuatku terlupa
terjaga aku selalu dalam ruang cinta tanpa ada jeda
caramu, caramu itu adalah keistimewaan yang tak bisa membuatku berpaling
menggenapi setiap tuturan rindu hingga suatu waktu menidurkanku di pusara keabadian dalam nuansa dingin
tiada rasa
telah mati rasa
kau tahu itu, bakkan sebelum aku membicarakannya padamu
hujan adalah yang mempertemukan kau dan aku,
namun hujan takkan pernah mampu melepas belenggu rinduku untukmu
sejuk terasa menyetubuhi gersang hatiku
menghalau kemarau panjang di gelisah rasaku dalam penantian rindu
aku suka caramu memandangku, seketika itu mengguyur basah jiwaku
teduh terasa membekap kerontang hatiku
menghapus sisaan dahaga dari masa lalu yang lama menjamur pilu
aku suka caramu melihatku, serentak memebekukanku dalam tutur bisu
damai terasa menyelimuti baraan hatiku
melepas kepenatan di titik tunggu tak lagi jadi pengelabu
ya, aku suka caramu mengasumsi rasa terhadapku
entah itu menggoda
entah itu gelayut manja
jelas yang kurasa adalah tuturan tingkah mesra,
melelapkanku kian dalam menyusup di antara nuansa syurga
ya, aku suka caramu menjatuhkanku dalam kubangan rindu
meski butuh masa
meski aral itu mendera
yang kutahu semua tak lebih cukup membuatku terlupa
terjaga aku selalu dalam ruang cinta tanpa ada jeda
caramu, caramu itu adalah keistimewaan yang tak bisa membuatku berpaling
menggenapi setiap tuturan rindu hingga suatu waktu menidurkanku di pusara keabadian dalam nuansa dingin
tiada rasa
telah mati rasa
kau tahu itu, bakkan sebelum aku membicarakannya padamu
hujan adalah yang mempertemukan kau dan aku,
namun hujan takkan pernah mampu melepas belenggu rinduku untukmu
SENYUMMU YANG MEMBUATKU JATUH HATI
terkenang selalu menjadi asa kerinduan
kemarilah ...!
hulurkan tangan rasamu untuk kujamah
biar mampu ku ungkap rasa dari dasar hati
bahwasanya ku mencintaimu setulus apa kata rindu bersanding sunyi
berilah aku kesempatan ....
sebagaimana sapa pelangi sehabis gerimis berjatuhan
adalah kehangatan dengan kasihmu kurengkuh
berpeluk cinta sampai pada hulu kerinduan kita akan berlabuh
kau sang penggurat senyum yang selalu menghantui
paras ayumu itu telah mengikat hati tak mampu berkutik lagi
benar adanya cinta kuhaturkan padamu
kuharap kau jua sama menyimpan rasa untukku
AWAL BARU (2015)
kumulai dari awal cerita,
mengguratkan pensil-pensil rasa hingga pena benar-benar berani untuk kembali bicara
kutiti sedari pagi ini melukis asa hati,
merealisasikan kanvas imaji menjadi lembaran hidup untuk kujalani
senyum,
itu yang coba selalu kusiratkan setiap kali menjejak langkah
pun akhirnya senyuman yang kupertahankan meski tak selalu indah yang dirajah
kekecewan
kedukaan
pedustaan
penghianatan,
akan kuhadapi indah dengan ikhlas hati berserah
semua memang sebagian dari perjalanan,
tak kusesalkan
ya, ingin kumulai lagi
tanda-tanda hati mengisyaratkanlangkah untuk kembali meniti
di mulai di pagi ini,
pagi di awal tahun melepas malam pergi
kupupuk sebuah asa keindahan, seirama pensil rasaku berubah pena
menoda bukan untuk meluka, menoda untuk berkisah baru dengan kedamaian jiwa
harap itu akan selalu kujaga di sini,
di sini di dalam lubuk terdalam aku punya hati
entah itu tentang cinta
entah itu tentang rupa-rupa dunia
kurenangi
kuarungi,
hingga kebahagiaan itu tak sekedar imaji
mengguratkan pensil-pensil rasa hingga pena benar-benar berani untuk kembali bicara
kutiti sedari pagi ini melukis asa hati,
merealisasikan kanvas imaji menjadi lembaran hidup untuk kujalani
senyum,
itu yang coba selalu kusiratkan setiap kali menjejak langkah
pun akhirnya senyuman yang kupertahankan meski tak selalu indah yang dirajah
kekecewan
kedukaan
pedustaan
penghianatan,
akan kuhadapi indah dengan ikhlas hati berserah
semua memang sebagian dari perjalanan,
tak kusesalkan
ya, ingin kumulai lagi
tanda-tanda hati mengisyaratkanlangkah untuk kembali meniti
di mulai di pagi ini,
pagi di awal tahun melepas malam pergi
kupupuk sebuah asa keindahan, seirama pensil rasaku berubah pena
menoda bukan untuk meluka, menoda untuk berkisah baru dengan kedamaian jiwa
harap itu akan selalu kujaga di sini,
di sini di dalam lubuk terdalam aku punya hati
entah itu tentang cinta
entah itu tentang rupa-rupa dunia
kurenangi
kuarungi,
hingga kebahagiaan itu tak sekedar imaji
CINTAKU TAK SAMPAI DI UJUNG NANTI (in memorian 2014)
ku letakkan tanda pecah terhina
membaca naluri dalam sekam terluka
umpama buih air mata menjadi batasan jera
maka senyum tawa tinggal sebuah nama
berjalan menyusuri riuh imaji yang tak pasti
melangkahkan kaki tak jua menemui ujung hentinya mimpi
serupa retakan tersisih dalam benak hati
asa itupun ikut mati bersama rindu tak pernah sampai untuk memiliki
cinta ...
terus dipertanyakan apa maksud di dalamnya
bukankah janji itu bahagia
lalu kenapa dusta menyeringai jiwa tanpa pertanda
memberikan luka-luka tiada habisnya
nyeri merasuk sepersekian kalinya menjatuhkan diri
tak habis pikir masanya nanti akan berganti
seruak itu adalah kekukuhan sepi sepanjang hari
berjalan sendiri memanggul beban rasa yang semakin lama menduri
membaca naluri dalam sekam terluka
umpama buih air mata menjadi batasan jera
maka senyum tawa tinggal sebuah nama
berjalan menyusuri riuh imaji yang tak pasti
melangkahkan kaki tak jua menemui ujung hentinya mimpi
serupa retakan tersisih dalam benak hati
asa itupun ikut mati bersama rindu tak pernah sampai untuk memiliki
cinta ...
terus dipertanyakan apa maksud di dalamnya
bukankah janji itu bahagia
lalu kenapa dusta menyeringai jiwa tanpa pertanda
memberikan luka-luka tiada habisnya
nyeri merasuk sepersekian kalinya menjatuhkan diri
tak habis pikir masanya nanti akan berganti
seruak itu adalah kekukuhan sepi sepanjang hari
berjalan sendiri memanggul beban rasa yang semakin lama menduri
MENANTIMU (in memorian 2013)
bagai sang bintang hilang dikecap pagi
kau kukasih meski hanya selewat wajah imaji
terantuk kataku dalam ruang sunyi
menantimu adalah jalan hati
pagi ini ...
aku yang begitu merasa iri menguntit kerinduan
layaknya memaki jenjang waktu yang tak jua memberi haluan
apalah, kiranya resah jiwaku menanti masa itu
menunggu hadirmu yang nampaknya masih dalam angan kalbu
ahh, apalah waktu tak membuka jalan untukku
masihlah semu, semua nampak mengelabu
hanya guris-guris mimpi yang sekiranya jadi asa hati
menantimu meski jenjang masa enggan mengerti
sungguh tak tau lagi aku herus menuliskan ini
sebuah cacatan hati dalam repah ragaku berpayung mimpi-mimpi
adalah aku yang tergugu pada segurat bayangan lalu
berharap sebuah keajaiban bertandang menyapaku
ya kehadiranmu,
kuingin itu ....
kau kukasih meski hanya selewat wajah imaji
terantuk kataku dalam ruang sunyi
menantimu adalah jalan hati
pagi ini ...
aku yang begitu merasa iri menguntit kerinduan
layaknya memaki jenjang waktu yang tak jua memberi haluan
apalah, kiranya resah jiwaku menanti masa itu
menunggu hadirmu yang nampaknya masih dalam angan kalbu
ahh, apalah waktu tak membuka jalan untukku
masihlah semu, semua nampak mengelabu
hanya guris-guris mimpi yang sekiranya jadi asa hati
menantimu meski jenjang masa enggan mengerti
sungguh tak tau lagi aku herus menuliskan ini
sebuah cacatan hati dalam repah ragaku berpayung mimpi-mimpi
adalah aku yang tergugu pada segurat bayangan lalu
berharap sebuah keajaiban bertandang menyapaku
ya kehadiranmu,
kuingin itu ....
KATA PERGIMU (in memorian 2012)
kau bilang ini yang terakhir satu pandangan beradu dari tatap mata hingga menjalar hati
aku tak mengerti ... sunguh aku tak mengerti
kenapa perjumpaan akhirnya seperti ini, tatkala ranum cinta mulai indah berseri
hilang asaku menumbuk mimpi
kau yang di hati berucap pergi tanpa kata kembali
malam ini terasa kegentingan dari mula tadi kau layangkan pandang penuh dengan kerisauan
namun tak kusangka begini jadinya ...
kau ku cinta akhirnya memutuskan perpisahan
seketika itu seruak tanyaku mencerca rasa
apa makna di balik semua yang kau utarakan, tiada satupun aku mampu menerima dengan kerelaan
kumohon urungkanlah ...!
lihatlah aku ini yang kau tau dari dulu begitu mencintaimu
kaupun jua mengerti, seperti apa dayaku akan jatuh dalam kelamnya kebutaan rasa yang beku
bila nantinya kau benar-benar pergi, sudut pelitaku juapun akan padam dan mati
menangung kerinduan yang semestinya kau jua mengerti
karna aku sungguh-sungguh mencintaimu, tak ada alih rupa yang akan mampu mengganti
ternyata keputusanmu tak mampu lagi ku ubah
kau tetap akan pergi membawa separuh jiwaku yang luluh lantah
dan disini, aku tertawan beku dengan seribu gundah
berisak tangis, dalam urai air mata sepanjang lajuan waktu meninggalkanku dalam rebah luka cinta sesaat kepergianmu melangkah
Langganan:
Postingan (Atom)