Hmmm, memang apalah aku ini. Menatap terlalu jauh untuk kembali jatuh. Merenda sulaman asa namun tetap saja itu hanya mimpi belaka. “Salah apakah aku salah, menyandarkan rasa pada sebuah nama,” begitulah tanyaku yang selalu jadi kemelut jiwa, memporak-porakdakan kejernihan fikirku mencerna segalanya.
Mungkin, ya mungkin. Kini kuhanya bisa merupa paramecia tanpa nama. Karna logiaku kiranya akan menumbuhkan luka, kukubur itu bersama lemburan usang di huluran kata pisah. Selanjutnya kucukupkan mengikuti Astavania, kemana pun dia melajur kata biar kukait seiring rasa berjelira.
Duh Astavania, memang kau yang paling mengerti. Walau sunyi yang kau tawarkan untuk kudiami, tak kusanggah itu karna sesungguhnya telah jadi takdirku dalam pembacaan sepi. Sepi yang menyandingku dalam kedamaian hati, sepi yang memebriku cara bagaimana untuk bertahan meskipun seribu hardik mencaci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar