aku

aku
Ruhesa Arsawenda (Syair)

Selasa, 16 Desember 2014

RINDUKU TETAP UNTUKMU RA ....

Senja kembali menawarkan jingganya untuk kubaca. Memerah saga ronanya, menghadirkan berbagai corak rasa yang aku coba cerna. Tentang apa itu kerinduan jiwa, tentang cinta itu yang kini jauh di mata.
Memang jarak seharusnya bukan jadi penjeda. Namun apa sangka hati yang terlalu resah untuk bicara.

"Kenapa harus begini, kenapa harus seperti ini?" keluhku dalam hati. Jauh jarak yang kukira dulu bukan halangan, namun nyatanya kini itu jadi tajuk keresahanku sepanjang waktu.
Masih terbersit ketika itu. Perpisahan yang penuh haru dengan berbagai ungkap rasa yang pada akhirnya melahirkan airmata.

Dia adalah Rara, perempuan yang begitu kucinta. Bahkan sampai kini rasa itu tetap ada meski tak kunjung waktu memberi jalan untuk kita kembali bertemu.

,
,


"Kak maaffin Ra ya, karena Ra nanti tak bisa selalu ada di sisi kakak," ucapnya yang nampak begitu berat.
"Kakak mengerti Dek, meskipun kakak gak tahu bagaimana jadinya, kakak akan terus bertahan dan menunggu demi Adek," kataku dengan setegar-tegarnya hati yang kucoba perlihatkan padanya.
"Janji ya Kak, Kakak gak akan berpaling dari Ra!" katanya dengan penuh harap.
"Ya Dek, kakak janji, lagian bagi kakak Adek adalah satu-satu nya perempuan yang mampu merubah hidup kakak jadi seperti ini, penuh semangat dan tak lagi berputus asa seperti dulu lagi," jawabku menyakinkannya.
"Adek bahagia banget dengernya, makasih ya Kak, udah ngertiin Ra."
"Itu semua karena kakak sayang Adek, sayaaaaaaaaaang banget."
"Adek juga sayang sama Kakak, selama ini Kakak juga udah baik banget sama adek, meskipun Kakak agak sedikit cengeng sih," ucapnya sedikit menggodaku dengan seulas senyum yang membuatku tersipu malu.
"Ah, Adek bisa aja," kataku sembari kupencet hidungnya yang bagiku menggemaskan.
"Idiiiiih ... Kakak, jangan dipencet-pencet terus hidung Ra, Ra kan udah pesek, ntar tambah pesek lho," ucapnya dengan sedikit memasang muka cemberut.
"Biarin aja, walau pesek kakak tetep suka kok," kataku menggoda sembari kupencet lagi hidungnya.
"Awas ... Ra bales lho!" ancamnya.
"Yee ... kakak gak takut."
"Beneran nie Kak," kembali ucapnya mengancam seiring gerakan tangannya menyentuh pingganngku dan kemudian dia memainkan jemarinya hingga membuatku geli.
"Ampun Dek ampun, kakak gak lagi-lagi deh pencet hidungnya Adek," ucapku memohon dengan mimik muka menahan geli.
"Ntar dulu, Ra mau bikin Kakak tertawa kegelian."
"Haha ha ha ha." Akhirnya tawaku pecah juga
Suasana pun kembali ceria. Tak terlihat gurat kesedihan, padahal sebentar lagi kita akan berpisah. Aku dan Ra nampak terhayut dengan saling melempar senyum menggoda dengan beberapa kali tawa yang pecah.
Namun itu tak bertahan lama, tatkala Ra tiba-tiba menangis.
"Dek kenapa menangis?" tanyaku memburu.
"Ra takut Kak, Ra takut suasana seperti ini tak akan Ra dapetin lagi setelah perpisahan ini," jawabnya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Adek gak boleh ngomong kayak gitu ah, kita pasti kembali bertemu Dek dan nuansa seperti ini akan kita warnai bersama lagi," ucapku sembari kugenggam erat tangannya.
"Semoga Tuhan memberikan akhir yang indah buat kita ya Kak," harapnya yang nampak begitu dalam terucap.
"Amiiiiiiin ... ," kataku menimpali.

Akhirnya sudah sampai waktunya untuk kita berpisah. Kukecup keningnya dan kupeluk tubuhnya sekali lagi sembari kutahan air mataku yang begitu mendesak untuk mengalir.
"Kak Ra pergi dulu ya, Kakak jaga kesehatan baik-baik jangan sampe telat makan juga! adek sayang Kakak ," ucapnya lirih dengan sedikit terisak tangis.
"Ya Dek, Adek juga jaga diri baik-baik dan jangan lupa kalo udah sampai sana kabar-kabarin kakak," kataku yang begitu kelu terucap menahan luah air mata.
"Ra janji Kak, Ra pasti langsung kabarin Kakak," ucapnya meyakinkanku. Dan dia pun melangkah pergi meninggalkanku dengan sebersit kedukaan yang begitu menyesak jiwa. Aku menangis, meluahkan segala resah perasaanku yang sedari tadi kutahan saat di depannya.

Seminggu telah berlalu semenjak kepergiannya, namun belum juga kudapati kabar darinya.
"Ada apa denganya, apakah dia telah ingkar janji, ataukah dia telah melupakanku?" tanyaku dengan beribu kerisaun yang selalu menggelayuti fikiranku.
Minggu telah berganti bulan, bulan telah berganti tahun, namun tak jua kabarnya kudapatkan. Kegelisahan, keresahan dalam kerinduan itu yang selalu menjadi pengisi hari-hariku sepanjang waktu.


Dan kini telah empat tahun berlalu, tepatnya di ujung tahun ini perpisahan kita terhitung . Aku masih tetap dengan kerinduanku tanpa tahu sedikit pun kabar darinya. Entahlah .... mungkin Tuhan punya rencana lain bagi kita. Yang kutahu saat ini adalah aku tetap mencintainya dengan setumpuk rindu yang terus terpupuk seiring putaran waktu melaju. Dia adalah Rara, perempuan yang telah membuatku jatuh hati dan takkan mampu terganti oleh siapa pun juga. Dan biarkan rasaku padanya layaknya rindu yang takkan pernah terhapuskan untuk selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar