Terpercik tinta rasa dihunus
lembaran jiwa
Terbaca ...
Sebuah guratan pena meski
patah di ujung jemari
Tak teraut akhir kata menjadi
misteri yang tak terungkap lagi
Tetaplah elegi menyusun
caranya sendiri untuk bicara
Layaknya
pesan atukah tanda dari genangan yang harusnya tak lagi ada
'
'
Aku tak berdaya berjalan
diantara ruang masa dengan timbunan luka-luka
Mencoba berdiri ...
Tertatih di setiap jengkal
kaki tertusuk seribu duri
Apa itu cahaya,apa itu pelita
yang memberi arah rasa
Yang terlihat nampak gulita
menghunus sepi
Menghiasi lorong-lorong mimpi
tak untuk kumiliki
Seperti siang ini yang
hangat dengan terik surya yang menyengat
Dingin kurasakan terpasung
kebekuan hati yang begitu menguliti
Diamku hanya sebuah rindu
menunggu titik tenggat
Ataukah seperti terpaku aku
ini dalam kujur sunyi
Hilang kesadaran mengguris
keheningan
Berbicara terhenti di
perasaan
Kelu di bibir tak mampu
terucapkan
Serupa apakah?
Serupa apakah yang harus
kujalani
Jauh itu tak nampak pelangi
yang kunanti
Meski kiranya gerimis telah
terhenti membias cahaya mentari
Adanya tak ada
Asanya putus asa
Dan bagaimanapun jua kini ...
Kata rinduku adalah teman
sejati
Tertulis itu dalam suratan
kata
Terbaca layaknya kais nada
dari serpihan aksara
Begitulah kisah yang menjadi
kenangku kini
Menghiasi hari-hari dengan
sulaman seribu asa hati
Semoga keindahan itu ada untu
kumiliki
Karna ...
Masih tersisa rasa itu terwujud
dari rindu yang menggebu
Meski kutahu nyatanya waktu tak memberi ruang
untuku memadu
"Dan percikan tinta
itu semakin terulas dalam pembawaan hati,satu untuk kesekian waktunya mungkin
takkan pernah terhenti,kutulis dan kutulis lagi."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar