aku

aku
Ruhesa Arsawenda (Syair)

Kamis, 11 Desember 2014

MASIH ADAKAH UNTUKKU ( tanpamu )

Hujan masih menghujat bumi tatkala kutemui senja dengan rinai-rinai kelabu langit temaram bisu. "Gemericik ..." suara rerintik air mengiramakan nada alam selintas pergi cahaya yang akan segera berpulang. Adalah aku yang menatap jauh segurat wajah jingga yang tak begitu sempurna menampakkan muka. Bersandar disini ... di bingkai jendela kamarku yang menghadap tepat kearah barat.

Seketika itu lamunanku melayang jauh. Seperti menulis di wajah langit, aku mengungkap lagi sebuah kisah yang mungkin seharusnya telah kulupa. Tentang sebuah perpisaan dengan seulas senyum yang dipaksakan, tentang akhir sebuah perjumpaan yang takkan pernah menemui titik kembali.

Lamunanku semakin jauh ke masa itu. Sembari kupejam mata aku terus hanyut untuk kembali mengingatnya. Segurat wajah itu yang begitu teduh kupandang, masih jelas terbayang layaknya bingkai kenangan yang takkan pernah usang.

Dia ... adalah sesosok cinta yang begitu dalam mengukir rasa di hati, seorang perempuan dengan ketegaran yang membuatku tertunduk malu menahan air mata. Benar dia kucinta, sampai kini rasa itu masih tetap sama tak berubah sedikit pun. Layaknya sebuah perapian menjadikan abu sebagai sisa, arang pun menjadi berkas yang membatu tatkala padam menghapus nyala api. Seperti itu, jelas kepergianya menyisakan kehilangan yang tak mampu untuk kurakit kembali.

Ahh ... serentak lamunanku terhenti. Kembali pada apa yang nyata kini. Ya ... aku masih disini menikmati senja dengan iringan hujan sedari tadi. Namun terasa jelas kurasa, kelu kerinduan menggetarkan hatiku yang dirundung pilu. Dia yang pernah ada, dia yang mengisi hari-hariku dengan kebahagian, begitu indah kasihnya takkan pernah tergantikan.

Tak terasa, air mataku pun pecah meski tanpa irama yang terdengar menyesak. Kutahan, namun tetap saja tak tertahankan. Berderai tangis mengingatnya yang sangat kucintai.

Padahal aku sudah berjanji. "Tak ada tangis lagi setelah ini," itu ucapnya beberapa saat sebelum kepergiannya. Ketika itu ... sekuat rasaku menggurat senyuman, karna itu yang dia inginkan.

"Kak ... terus menatap ke depan demi aku ya, aku tak ingin kakak bersedih, aku tak ingin kakak menangis. Berjanjilah kak, agar aku disana dapat mendapat kedamaian dengan kebahagian yang akan kakak miliki nanti," itu katanya yang menjadi pesan terakhir untukku.

Kini ... setelah tiga tahun berlalu sejak kepergiannya untuk selamanya, aku belum juga mampu untuk menepati janji. Masih sering tangis menjadi tajuk malamku menjemput mimpi. Tetap kerinduan itu terjaga untuknya yang takkan pernah kulupa.

Senja mulai nampak memudar di haribaan cakrawala, hujan pun pelan-pelan terhenti menutup masa hari. Aku masih tetap disini, mengurai tangis dengan sebentuk kerinduan. Menanti sebuah jawaban atas tanya rasaku akan sebuah kebahagiaan. "Masih adakah itu untukku, masih akankah mampu untuk kudapati," itu kataku, menyiratkan keraguan akan sebuah kebahagiaan pada masanya nanti.

Jogja
11-12-14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar