aku

aku
Ruhesa Arsawenda (Syair)

Rabu, 10 Desember 2014

BINGKISAN RINDU DI UJUNG TAHUN


Desember hampir setengah jalan mengetuk pintu akhir bulan. Hujan pun mulai sering membasahi bumi dengan rintiknya setiap hari. Nuansa tak lagi begitu gerah untuk dirasa, telah berganti dingin seirama layu temaram langit yang tak lagi memperlihatkan wajah surya dengan sempurna. “Hmm ... inilah Desember,” gumamku sembari menikmati panorama hujan dari kaca jendela sore ini.

“Ah ... udah hampir jam empat,” kataku nampak risau tatkala memandang jam dinding yang terpasang di sisi utara tembok kamarku. Sore ini aku ada janji dengan seseorang yang sangat spesial di hidupku. Dia seorang gadis yang hampir setahun ini kukenal, tepatnya tanggal 14 besok adalah hari dimana genap setahun sudah sejak pertama kali aku bertemu dengannya.

Tak menunggu hujan reda, akhirnya kupaksakan diri untuk tetap keluar rumah. Dengan motor butut dan jas hujan yang robek di sisi lengannya. Aku menerjang guyuran tetes langit, meski jarak pandangku sedikit terbatas. Nampak dimana-mana air menggenang, jalan-jalan pun tinggal menyisakan trotoar sebagai pembatas.

Kurang lebih lima belas menit aku melajukan motorku, akhirnya sampai jua di tempat pertemuan yang dia katakan tadi pagi. Ya ... ini adalah sebuah warung lesehan dengan bebek goreng khasnya yang begitu aku suka. Bukan itu saja ... ini juga tempat pertama kali aku berjumpa dengannya tanpa suata rencana tanpa suatu kesengajaan yang direka-reka.

“Kok dia belum datang juga ya ...,” keluhku setelah hampir setengah jam menunggu tak nampak jua hadirnya menyapaku. Seketika itu ... terkilas lagi kata-katanya tadi pagi yang nampak gemetar dengan kecap bibir walau aku tak melihat itu. Hanya kurasa ucapnya menyimpan ragu juga sepertinya menyembunyikan sesuatu.

Sebersit fikirku mulai bertanya-tanya, ada apakah sebenarnya hingga tiba-tiba dia ingin bertemu denganku. “Suatu yang pentingkah itu,” ucapku dalam hati mengira-ira maksudnya yang tersembunyi. Aku terus mencoba berprasangka baik, sembari menanti kedatangannya memberi jawaban pasti.

Hujan pun akhirnya reda sewaktu kulihat jam telah menunjukkan pukul lima tepat. Dan nampak dari arah utara kulihat seorang wanita yang turun dari motor matic yang kukenal. “Benar ... itu dia,” girang rasaku setelah lama menunggu, akhirnya dia datang juga. Aku pun bergegas menghampirinya, lalu mengajaknya duduk ke tempat yang sudah aku persiapkan untuknya.

Hening sejenak, seperti berlagu sepi dengan not-not mati. Kami seakan sama-sama ragu untuk mulai bicara. Ada yang aneh dalam perasaanku, seperti ada hal buruk yang akan terjadi. “Kok terlambat ... ? “ seketika itu ucapku mulai memecah kediaman, menanyakan perihal apa hingga membuatnya terlambat datang.
“Oh maaf ya... tadi motorku tiba-tiba macet, lagian juga hujan lagi deras-derasnya makanya aku terlambat,” jawabnya menimpali tanyaku.

Suasanapun kembali hening, nampak dia ingin bicara namun tertahan. “Sebenarnya ada apa ...? tiba-tiba mengajak janjian disini,” begitulah kataku yang sedari tadi menjadi gelut tanyaku dalam hati.
“Aku takut, aku benar-benar takut,” itu jawabnya yang membuatku kian bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
“Kenapa takut, apakah ada hal buruk yang telah terjadi” cerca tanyaku mecoba mengulas kembali jawab darinya.
“Aku takut tak dapat bertemu denganmu lagi setelah ini, besok aku akan pindah ketempat yang membutuhkan berhari-hari perjalanan untuk mencapainya” katanya yang seketika itu menyentak benak hati dan perasaanku secara tiba-tiba.

Ini seperti mimpi semalam, kisah setahun harus terputus dengan sebuah perpisahan. Jarak yang membentang begitu jauh, lautan yang merintang untuk ditempuh, itu akan menjadi penghalang pertemuan bagi kita. Aku seakan tidak percaya dengan ucapnya ,bahwa ini adalah terakhir kalinya kita bertemu, Padahal ada satu rasa yang belum aku ungkap juga ada satu kata yang belum aku utarakan.

“Aku mencintaimu,” begitulah akhirnya kuutarakan padanya dengan keberanian yang berhasil kupupuk, meski kutahu itu takkan menahannya pergi. Mungkin kini telah terlambat masanya untuk bersama, namun setidaknya telah kuungkap apa yang telah lama kupendam, Dia pun terhenyak ... seketika itu menitikan air mata,
“Aku juga mencintaimu,” katanya yang juga membuatku tak kuasa menahan air mata. Benar-benar haru kurasakan atas jawabannya yang membahagiakan, tak apalah ... walau nantinya memang harus terpisah, kita telah sama-sama tahu akan adanya cinta sejak mula dulu berjumpa.


Senja pun telah sampai pada peraduan malam, meninggalkan sisa-sisa hujan dengan genangan air yang membasuh jalan-jalan. Aku menatap kepergiannya dengan satu harapan yang aku coba sulam, harapan akan sebuah pertemuan, harapan akan sebuah perjumpaan. Meski ku tak tahu berapa lama aku harus menunggu, akan aku simpan rindu ini menjadi dayaku untuk menatap indah hari-hari ke depan. Aku yakin suatu saatnya nanti kita akan kembali bertemu, menautkan hati tanpa ada jeda jarak dan waktu yang menghalangi. Dia yang menjadikan Desemberku kali ini, layaknya bingkisan rindu di ujung tahun yang akan selalu kusimpan. Adalah dia yang kucinta walau belum sempat memadu kasih untuk bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar